Mau Motret? Bayar Dulu

“Bawa kamera, mas? Bayar 1000 rupiah.”

Sewaktu membeli karcis masuk Tamansari tadi saya salah strategi. Harusnya kamera saya sembunyikan dalam tas. Sama seperti kebanyakan objek wisata sejarah lain seperti Candi Borobudur dan Prambanan, Tamansari juga mewajibkan pengunjung membayar Camera Permit.

Saya heran mengapa pengunjung sampai harus membayar untuk memotret. Padahal kamera bawaan sendiri, baterei beli sendiri. Dan bukankah harusnya dalam tiket masuk itu sudah termasuk biaya “menikmati” tempat.

tmn1 tmn2

tmn3

tmn4tmn5

 

 

 

 

 

 

(1)(2)(3) Reruntuhan di barat kompleks Tamansari yang sedang dipugar, (4) gerombolan turis prancis di gerbang Tamansari. Sebenarnya gerbang yang dipakai sekarang adalah gerbang belakang, (5) ini nih kolam tempat Pangeran Mangkubumi (HB I) berenang sekitar 250 tahun lalu. Dua kolam besar. Kalau tidak salah ada 3 kolam besar di kompleks ini. Arsiteknya katanya orang Portugis.

Sebenarnya tidak berat untuk mengeluarkan uang seribu rupiah. Tapi lucu saja kalau bawa kamera harus bayar. Saya yakin jika Pangeran Mangkubumi yang membangun tempat peristirahatan ini sekitar tahun 250 tahun lalu dimintai pendapat soal pemberlakuan karcis kamera, dia tidak akan setuju.

Mengambil gambar waktu jalan-jalan itu bagi saya sama dengan bernapas sehari-hari. Napas saja tidak bayar. Apalagi cuma foto-foto.

Bayar, bayar, bayar. Mau?

40 pemikiran pada “Mau Motret? Bayar Dulu

  1. wQQQQ.. itulah pinternya saudara2 kita itu shigeee
    keluarkanlah uang disetiap langkahmu

    uuhh shige jalan2 mulu,
    suatu saat bila sempat, ke Dieng ya
    keren!!! bundo pernah seminggu disana **jaman msh muda**

    gadis dieng cantik, pipinya merah karena udara yang sangat dingin
    pipi shige juga pasti ikut merah..

    atau shige juga sudah kesana..?
    bundo tunggu fotonya

    1. tahun 1995 **hyaaa.. ketauan banget tuanya**

      dulu itu disana masih ada perkebunan jamur milik keluarga pak harto
      keren deh shige, seperti kompleks militer
      dijaga ketat dan didalamnya tdpt lengkap fasilitas, lndasan heli, toko dan sekolah untuk anak2 karyawan..

      berbeda sekali dengan kehidupan penduduk asli
      yang kebanyakan bertanam kentang.., dulu itu bundo lihat timpang banget
      penduduk diengnya miskin sedangkan penghuni kompleks perkebunan jamur hidup nyaman dengan fasilitas lengkap

      tapi kata pak sunarnosahlan sekarang masyarakat dieng udah makmur dari bertanam kentang itu
      ** kabarnya perkebunan jamur itu sudah ditutup

      uuhhhhhh shigeeee… pemandangannya..!!! bundo aja masih merinding sampai hari ini bila ingat.. bundo emang lebih suka daerah pegunungan dibanding laut.. jadi beruntung sekali sempat bertualang di dieng walau hanya satu minggu

      dan di situ jajanannya, mendoaaannnn terus… ga bosan2..!!!

      1. tahun 1995.. saya masih baru masuk SD, bundo. hehe.
        oh, begitu. jadi penasaran banget pengen ke sana.
        saya juga udah liat foto-fotonya di internet sih.. Sumbing dan Sindoro keren banget kalo diliat dari sana.

        hehe.. mendoan. makanan “besar” harga irit.

        btw dulu bundo kuliah di jawa juga ya?

      2. bundo kuliah di Unpad Bandung..
        Bandung tak termasuk jawa kan shige, hehhe
        tapi bundo pecinta jawa, setiap libur hasratnya hanya dua: pulang kampung atau petualang ke jawa 😀

  2. @rusa bawean: bayar gak bro?
    @ceuceusovi: letaknya deket keraton jogja. mau ke sana? kapan? 😀
    @nakjaDimande: iya dong.. mumpung masih muda.. hehe.. ke Dieng saya belum pernah, bundo. tapi pengen ke sana. katanya sunrise bagus dari sana. tahun berapa bundo ke sana?
    @nadya: gileee… lebih mahal dari tarif transjogja tuh.
    @gimbal: untung gak hetrik.. udah siap-siap gw lempar sandal nih..
    tengkyu bro.
    @diazhandsome: iya nih.. indekos aja gw kesel bayarnya.. haha..

  3. Wadui… keren amat gambarnya tapi, aneh yah mosok moto pake kamera sendiri suruh bayar? memang, bukan Rp.1000nya yang jadi masalah tapi, kenapa yah…???

    Saya nemu alamatnya di radio sastra. penggemar Buya Hamka yah…??? dah pernah baca tenggelamnya kapal van der wijk belum? seru tuh, gak jauh beda sedihnya ama di bawah naungan Ka’bah. Wallahu’alam

  4. .
    Bukan soal 1000 nya, boss…

    Tapi,…

    Aaah… Sudahlah….

    Di hampir semua negara yang pernah sayah kunjungi dan memiliki situs kepurbakalaan, mereka mengutip Camera Permit… 😉

  5. @anazkia: ya itu. aneh aja. 😀 iy. sy jg penggemar buya Hamka. tapi baru baca yang di bawah lindungan ka’bah. saking menariknya sekali baca langsung habis. he.. susah nyari karya hamka skrg. ngerti toko yang jual buku-buku sastra indonesia lama?
    @sekartaji: iya sih keknya.
    @mbelgedez: iya, bro.. bukan masalah 1000nya itu. “kenapa?”nya yang jadi masalah.. 😆

  6. kmrn sempat ke kraton jogja nggak mas? di loketnya tertulis jg, kamera harus bayar… he..he..
    jd nggak usah heran, dari pusat pemerintahannya aja ada aturan kamera bayar, maka di tamansari pun ikut2n.. itung2 buat amal mas, melestarikan budaya bangsa

  7. sekarang bayangkan kalau kita nafas harus bayar…
    Mungkin mengingatkan kepada suatu yang lebih dalam untuk kita lebih banyak bersyukur dari pada mempermasalahkan uang seribu…

  8. @dinda: ya.. gitu deh 😐
    @guskar: saya belum pernah masuk keraton. 😀 belum tertarik soalnya. hehe.. harusnya, seperti yang sudah saya bilang, biaya foto2 dsb itu udah include sama karcis masuk. masalahnya “kok harus bayar” itu lho. lucu. kalau misalnya di museum berisi lukisan, wajar kalau pake karcis foto. yang mahal aja sekalian biar orang males bawa kamera, soalnya kan blitznya itu bisa bikin buram warna.. tapi kalo masuk ke tempat yang isinya batu, tembok, apa salahnya? lagian di dalam sana juga fotografer amatir ga ada. 😆
    @lata: indeed, mate!
    @om agus: saya sih lebih mempertanyakan alasannya. bukan mempermasalahkan keluar duitnya.. hehe :mrgreen:

  9. hu uh… memang cuma seribu sih ya… tapi emang berasa aneh kalo mo motret aja kudu bayar…

    setuju tu sama si bundo…
    memang kreatip orang kita… nggak ada yang gak bisa dijadiin duit…

    oh iya, saya suka poto yg nomer lima…
    langitnya keren…

  10. hehehe.. bakhil benar tukang jaga wisatanya ya..??
    masih bagus kalo uang tersebut buat bea rehab tempat wisata… Sah aja kok.. but kalo masuk ke kantong pribadi.. tu yang memberatkan… benar ngga..??

  11. Ada-ada saja.. 😛

    Buat mas-mas atau mbak-mbak yang sudah saya komen, mohon kunjungan baliknya untuk mengetahui kisah seorang tunanetra yang berkiprah dalam dunia game, bisa diulik di http://adf.ly/Hvc dan sekalian komentarnya! Kalau mau ikutan kontes juga jangan lupa ya mas/mbak! (Linknya? http://adf.ly/HhS dan jangan lupa untuk mendukung saya dengan komentar ya! Lebih lanjut? Buka http://adf.ly/HhI bila ingin ikutan!)

  12. @sastra radio: trims, bro.
    @yoan: iya.. kalau saya suka yang no. 4.. :mrgreen:
    @visit gorontalo: bener. kalau memang benar-benar dibutuhkan gpp. malah kalau nggak salah pemugaran tamansari ini dibantu portugis dulunya.
    @casual cutie: hehe.. trims.
    @naufal: 😆 tadinya dikira spam lho sama akismet..

  13. kalo mau masuk ke kraton jogja juga gituh, mas. kalo kata temen sih, salah satu fungsinya utk membayar abdi dalem yg cuma dibayar seratus ribu perbulan. entah klo di objek wisata yg satu ini. mungkin fungsinya juga ada hal yg baik…

    salammm kunjungan ….

  14. wakkakakkk….. itu baru baa kamera bayar seribu nah kalau bwa perlengakapan shoting bayarnya berapa lagi… makanya budaya “KRUP” sudah dimulai dari kkamar kecil yang berbunyi
    – Buang air kecil 500
    – buang air besar 1000
    ayo mau apa lagi kita???
    salam persahabatan yang dalem banget rogok lagi dalem2 kantongnya mas…. haahahahah…

  15. hahahaaa… bener, dri! bukan nominalnya, tapi soal prinsip.
    kenapa juga motret musti bayar? kalau memang motret gak ada permit, mustinya komit untuk tidak memperbolehkan motret biar apa yang terjadi, apalagi kalau sekadar bayar 1000 perak. ada sih beberapa tempat semacam galeri seni yang tidak mengizinkan memotret dengan lampu kilat karena kuatir kilatan blitz dapat menggerogoti kualitas warna benda-benda seni yang sudah tua itu. tapi kan jelas alasannya. jadi kalau nggak pake blitz boleh aja.

    lha ini? sama aja dengan memberi justifikasi bagi pungli. ups!

Tinggalkan Balasan ke visit gorontalo Batalkan balasan