Langkah (24): Pagi di Ngadisari

Bromo

Ketika kami keluar dari penginapan pagi itu, matahari sudah menggantung tinggi di langit. Baru kali itu saya melihat langit sebiru dan sebersih ini.

Meskipun masih jam setengah tujuh pagi, kami harus buru-buru check out dari penginapan seharga 100 ribu semalam itu. Maklum lah. Tujuan utama perjalanan ini kan bukan wisata. Kami diutus untuk mencari dan mengurus perizinan, transportasi, serta akomodasi untuk praktikum bulan Desember. Maka tidak heran kalau yang pertama-tama kami kunjungi pagi itu adalah Pos Pengamatan dan Mitigasi Bencana Bromo (PPMB Bromo), bukannya Segara Wedi.

Secara administratif, penginapan kami itu berada di Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura. Desa ini bisa dikatakan sebagai salahsatu desa yang paling dekat dengan lautan pasir Bromo. Gapura dan loket pembelian karcis masuk Bromo pun berada di desa ini.

Gapura TNBTS

Desa lain yang juga dekat dengan lautan pasir Bromo adalah Cemoro Lawang. Untuk urusan penginapan, anda bisa memilih di antara keduanya. Oh, ya. Beberapa saat setelah check in semalam, kawan saya yang asli Ngawi serta yang asli Wonosari menyempatkan diri untuk jalan-jalan sebentar ke pos penjualan karcis. Katanya di dekat gapura ada beberapa penginapan yang harganya lebih murah, sekitar 50 ribu semalam. Tapi mungkin lebih kecil dari kamar kami, tidak double bed, dan kamar mandi di luar.

Kami menginap persis di depan pertigaan tempat jeep sewaan ke Bromo dan Pananjakan ngetem. Jadi, begitu berjalan keluar, kami langsung berhadap-hadapan dengan sebuah billboard kecil berisi daftar harga sewa jeep. Benar ternyata kata orang-orang di forum, harga sewa jeep ke Pananjakan memang 275 ribu PP. Untuk yang ke Bromo saya lupa harganya.

Jeep Sewaan

PPMB Bromo terletak sekitar 300 meter ke arah kiri dari pos penjualan karcis. Karena mengaku mempunyai urusan dengan petugas Pos Pengamatan, kami tidak ditarik karcis masuk (domestik IDR 6,000, mancanegara IDR 25,000). Lumayan.

Di jalan menuju PPMB Bromo, kami berpapasan dengan beberapa penduduk lokal, orang Tengger. Ada yang berkuda, ada yang bermotor, ada juga yang berjalan kaki sambil memanggul sesuatu di punggungnya. Yang saya perhatikan, sarung seperti menjadi asesoris wajib bagi orang-orang Tengger. Laki-laki menyelempangkan sarungnya di bahu, para perempuan melilitkannya di tubuh. Bahkan kawan saya yang asli Ngawi itu sampai berkelakar begini, “Mereka itu punya sarung khusus untuk bekerja, dan sarung khusus untuk di rumah, nongkrong dan bepergian”. IMHO, mereka semua ramah. Meskipun tidak seramah orang-orang di Jogja. :mrgreen:

Orang Tengger Berkuda

Sebagian besar masyarakat Tengger bermata pencaharian sebagai petani sayur. Sebagian kecil lainnya mencari nafkah sebagai PNS, buruh, pedagang, dan penyedia jasa dalam bidang pariwisata. Orang Tengger percaya bahwa Gunung Bromo (Brahma) adalah gunung suci. Karena alasan itu, setiap tahun pada tanggal 14 atau 15 bulan kasada, orang-orang Tengger menyelenggarakan upacara Kasada. Upacara ini dimulai dari Pura Luhur Kahyangan kemudian dilanjutkan sampai ke Puncak Gunung Bromo.

Beberapa menit berjalan kami tiba di sebuah belokan. Sisi kanan belokan itu cukup terbuka sehingga saya bisa memandang dengan bebas ke arah Bromo, Pananjakan, dan lautan pasir yang mengelilinginya. Samar-samar saya bisa melihat Pura Luhur Kahyangan yang terletak tidak berapa jauh dari kaki Gunung Batok. Ternyata Bromo memang seperti yang di poster dan di TV. :mrgreen:

100_0924

Sayang sekali waktu tidak mengizinkan kami untuk turun ke Segara Wedi, naik kuda, dan mendaki anak-anak tangga Bromo. Pagi itu juga, segera setelah urusan dengan PPMB Bromo selesai, kami harus segera balik ke Jogja. Maklum, besok lusa dari hari sabtu itu UTS sudah dimulai. :mrgreen:

45 pemikiran pada “Langkah (24): Pagi di Ngadisari

  1. lihat pic gunung itu, bundo langsung ingat dian sastro dengan pasir berbisiknya.. 😀 ternyata pemandangannya memang seperti yang di film ya shige.. dahsyat!

    hahhhhh, UTSnya hari senin???!!! OMG..

  2. Saya ke Bromo tiga tahun lalu dengan keluarga besar. Kami nyewa tiga jip juga ke Panajakan, setelah nawar-nawar dapetnya Rp 350 ribu/jip.

    Tips kalo mau ke Bromo:
    Usahakan berangkat dari hotel kira-kira jam 3.30, jangan lebih. Supaya sampai di Panajakan bisa jam 4.30, jadi sempat solat subuh. Matahari sunrise yang bagus buat dipotret bulan ini, kira-kira jam 5. Oh ya, di Panajakan nggak ada musholla.

    Setelah puas lihat sunrise, langsung aja turun ke Segara Wedi saat itu juga, supaya bisa dapet mendaki anak tangganya. Kalo umur kita masih muda-muda gini, jalan kaki aja kalo nyeberang Segara ke anak tangga. Baru nanti pas pulangnya nyeberang Segara, pake kuda.

    Kalo bisa jangan lebih dari jam 9 pagi pas naik anak tangganya. Soalnya lewat dari jam segitu, mataharinya sudah tinggi banget dan pemandangannya sudah nggak bagus buat difoto. 🙂

  3. waktu itu saya datang pukul 2 malam, jadi ndak ada yang narik karcis. Tidak ada acara menginap, langsung turun ke lautan pasir dan menanjak ke gunung bromo. Lumayan lah, wong tujuan utama adalah mendaki. Subuh baru bisa sampai di puncak. Seger banget rasanya.

  4. foto terakhir itu keren!!!
    kapan gw bisa pose disana ya…i will add this place in my agenda…hhohohohoho…bikin iri! 😀

    ayo jejaka lanjutkan petualanganmu 😀

  5. hiks. kapan ya bisa ke bromo?

    sayang tempo hari kamu buru-buru ya, dri.
    tapi ngemeng-ngemeng, kenapa kamu dkk yang ditugasi, ya?
    apa dosennya tau kalau kamu sukaaaa banget jalan, dan bisa disuruh jalan dengan modal irit ya? kekekekek…

  6. “Karena mengaku mempunyai urusan dengan petugas Pos Pengamatan, kami tidak ditarik karcis masuk (domestik IDR 6,000, mancanegara IDR 25,000). Lumayan.”

    Hmm.. interesting. Males bayar karcis Rp6000 yang seharga atau malah lebih murah dari 1 mangkok baso. Padahal karcis masuk ini tentu sebagian diarahkan untuk konservasi Bromo, area yang sangat Anda kagumi. Hebatnya lagi, anda dapat “diskon” ini dengan menipu, mengaku mengenal orang dalam. Saya harap Anda tidak pernah tergabung dalam kampanye anti KKN / pro KPK di kampus maupun di media. Esensinya tidak berbeda dengan tindakan aparat yang “nyicil” dari yang kecil2.

    Dan saya harap juga Anda memiliki nyali untuk mem post komentar. Berani mempublikasikan blog, berani terima kritik 🙂

    1. saya memang benar-benar punya urusan dengan pos pengamatan dan petugas TNBTS yang berwenang menyuruh kami untuk masuk tanpa membayar karcis. rezeki apa bisa ditolak?

      dan jika anda berada dalam posisi saya, diperkenankan masuk tanpa membayar, apa yang anda lakukan? saya rasa akan terlalu naif jika anda ‘memaksa’ untuk tetap membayar.

      hmm.. menarik nih.

      Hebatnya lagi, anda dapat “diskon” ini dengan menipu, mengaku mengenal orang dalam.

      padahal saya nulis kayak gini:

      Karena mengaku mempunyai urusan dengan petugas Pos Pengamatan, kami tidak ditarik karcis masuk (domestik IDR 6,000, mancanegara IDR 25,000). Lumayan.

      bukannya saya menipu dengan mengatakan kenal orang dalam.. saya cuma bilang punya urusan dengan petugas pos pengamatan. well, kedua kalimat itu punya pengertian yang berbeda.

      Saya harap Anda tidak pernah tergabung dalam kampanye anti KKN / pro KPK di kampus maupun di media. Esensinya tidak berbeda dengan tindakan aparat yang “nyicil” dari yang kecil2.

      saya bukan orang suci dan syukurlah, harapan anda terkabul, karena saya nggak “tergabung dalam kampanye anti KKN / pro KPK di kampus maupun di media” as you said. dan, saya harap anda bisa mempertanggungjawabkan “citra suci” yang anda ciptakan di komentar di atas.. tentu saja dengan cara melunasi apa saja yang harus dibayar sekalipun petugas berwenang memberikan eksepsi terhadap anda karena alasan tertentu. :mrgreen:

      saya terbuka dengan kritik dan saya harap anda terbuka juga dengan identitas anda. bukankah lebih bijaksana menyantumkan link daripada belagak menjadi anonim? :mrgreen:

  7. Gann… kalo ke bromo rombongan cewe-cewe 4 org, aman ga yahh..? hehhee… soalnya ada rencana ke jogja 6 hr, tp pengan lanjut ke bromo…

Tinggalkan Balasan ke Pencarian Puisi Batalkan balasan