Dengan perut penuh bánh tráng nướng, saya kembali ke hostel. Penat dan kenyang dan selimut hangat membuat saya cepat sekali tertidur. Pulas sekali tidur saya malam itu sampai-sampai mimpi tak kuasa unjuk gigi.
Begitu bangun, saya mendapati kamar dormitori sepi itu kedatangan orang baru. Mukanya, kalau dilihat sekilas, tipikal orang Filipina atau Thailand. Tapi bisa jadi pula bukan kedua-duanya. Ketimbang penasaran, lebih baik saya bertanya: “Are you from the Philippines?”
“No. I’m from Indonesia,” jawabnya.
Saya girang bukan kepalang karena bisa bicara bahasa Indonesia. Lidah saya jadi relaks sebab bisa kembali melafalkan huruf “R” dan “T” secara penuh tanpa dicadel-cadelkan.
Ia adalah pejalan Indonesia pertama yang saya temui di hostel setelah melanglang lebih dari seminggu—dan orang Indonesia satu-satunya yang saya jumpai di penginapan (kecuali Nyonya) selama pelancongan sekitar 40 hari itu.

Namanya Yongki. Dari Jakarta ternyata. Ia sengaja jauh-jauh terbang ke Vietnam demi menghadiri pesta ulang tahun temannya, orang Vietnam, di Hanoi. Sebelum pulang, karena masih punya sisa cuti, ia melipir ke utara untuk menikmati Sapa.
Hanya sebentar saya mengobrol dengan Yongki. Saya mesti mengemasi ransel agar bisa segera check-out dan melanjutkan perjalanan ke Hanoi. Rencananya saya akan naik bis ke Lào Cai lalu menumpang kereta malam ke Hanoi.
Hampir nyasar ke China
Miss Moon bilang tidak ada kereta malam dari Lào Cai ke Hanoi. Ia menyarankan saya untuk naik bis saja. Moda transportasi ini lebih cepat dan lebih nyaman meskipun ongkosnya lebih mahal ketimbang kereta api ekonomi. Ia bisa memesankannya. Saya tinggal duduk manis menunggu jadwal keberangkatan sambil main biliar di ruang makan.

Tapi saya tak percaya. Pun benar bahwa tidak ada kereta malam dari Lào Cai ke Hanoi, saya mesti membuktikannya sendiri. Jika memang betul tak ada kereta malam, toh saya bisa balik kanan ke Sapa dan mencari bis di terminal.
Saya pun check-out kemudian menelusuri jalan menanjak menuju gereja batu. Beberapa meter dari sana, beberapa bis trayek Sapa-Lào Cai ngetem menanti penumpang. Saya masuk ke bis yang berada di antrean paling depan.
Karena wisatawan sedang ramai, saya tak perlu menunggu lama sampai bis itu penuh dan mulai berjalan menyusuri punggungan pengunungan Vietnam bagian utara. Jalur Sapa-Lào Cai itu mengingatkan saya pada jalanan Temanggung-Dieng atau Padang-Solok. Lembah hijau terhampar luas menyangga perbukitan berlapis lahan perkebunan. Jalan itu tak terlalu besar, namun supir kendaraan-kendaraan besar seperti bis dan truk takkan kesulitan ketika berpapasan.
Perjalanan Jogja-Solo lebih lama ketimbang Sapa-Lào Cai. Kurang dari satu jam setelah keberangkatan, bis berhenti di sebuah pertigaan. Tak tahu mau berhenti di mana, saya ikut turun bersama para penumpang lain yang kebanyakan berkoper, lalu berjalan mengiringi mereka ke arah utara.
Di arah timur saya melihat rel kereta. Mungkin ini arah yang benar menuju stasiun.

Namun saya salah. Bukannya tiba di stasiun kereta api, saya malah tiba di pos imigrasi Vietnam. Di seberang sana ada gapura beraksara China.
Di dekat pagar, ada seorang tentara yang sedang berjaga. Kepadanya saya bertanya, “Is that China?”
“Yes,” jawabnya.
Itu adalah kampung halaman nenek moyang orang Indonesia: Yunnan.
“Can you speak English?”
Ternyata saya salah belok. Semestinya, untuk menuju stasiun kereta, di pertigaan tadi saya belok kanan ke arah selatan. Tapi tak mengapa; saya menikmati pertualangan ini.
Dari perbatasan Vietnam-China, saya jalan kaki ke selatan menelusuri pinggiran Sungai Merah. Lào Cai sepi sekali seperti Jogja hari pertama Lebaran. Hanya satu-dua mobil yang melintas di jalanan yang diapit ruko. Trotoar lengang.
Stasiun Lào Cai juga ternyata sama lengangnya. Saya tak perlu antre untuk membeli tiket kereta. Karena ongkos gerbong kelas bisnis sangat terjangkau, saya tergoda untuk mencobanya.

Ketika berbalik dari loket tiket, dari seberang sana terdengar suara, “Can you speak English?”
Sumber suara itu adalah seorang pemuda tinggi bermuka Tiongkok. Ia bercelana panjang dan mengenakan kemeja flanel. Di bangku tunggu tak jauh dari tempatnya berdiri tergeletak sebuah tas besar dan beberapa kresek serta tas kanvas. Bahasa Inggrisnya fasih sekali seperti native speaker. Mendapati kombinasi muka dan aksennya di tempat seperti ini membuat saya curiga.
“Yes,” saya jawab. “A little bit.”
Kami pun mengobrol. Ia mengaku sebagai orang Kanada. Ia baru saja tiba di Vietnam setelah dua bulan melancong di China. Tujuannya selanjutnya adalah Hanoi. Namun ia punya satu masalah: belum punya uang dong untuk membeli tiket kereta api. Di dekat sini tak ada tempat penukaran uang yang buka. Untuk menarik uang di ATM ia masih ragu; potongannya pasti tinggi.
Kami nongkrong di anak tangga beranda stasiun. Pemuda Kanada itu, yang belakangan saya tahu namanya S, senang sekali menyapa orang dan mengobrol. Setiap kali ada orang berpenampilan turis yang tiba di stasiun, ia akan bertanya—“Can you speak English?”—lalu melanjutkannya dengan pertanyaan-pertanyaan lain, misalnya soal negara asal.


Ketika sudah agak sore, tiga orang pelancong tiba di stasiun. S, bisa ditebak, langsung bertanya: “Can you speak English?”
“Yes,” jawab salah seorang di antaranya.
“Where are you from?”
“England.”
Kami semua terbahak-bahak. Garing sekali.
Di pinggir Danau Hoàn Kiếm
Sekitar jam 8 malam, saya dan S naik kereta menuju Hanoi. Tempat duduk kami bersisian. S akhirnya bisa membeli tiket dengan uang pinjaman dari M, kawan pelancong dari Jerman yang tadi sore berkenalan dengan kami di Stasiun Lào Cai. S mengganti uang pinjaman itu dengan mentraktir M makan malam di restoran yang menerima pembayaran dengan kartu kredit.
Kecurigaan saya pada S memudar sudah. Tadi saya sempat melihat paspor hitam Kanada-nya waktu ia memesan tiket. Dan di ranselnya ada Bendera Maple.
Bangku kereta itu nyaman sekali. Makanya cepat sekali saya tertidur. Ingatan terakhir saya sebelum terlelap adalah Sungai Merah yang mengalir deras dan berkilau diterangi cahaya rembulan yang sedang purnama.
Begitu bangun, kereta sudah hampir tiba di Stasiun Hanoi. Sekitar jam empat dini hari, kami meloncat turun dari kereta, melintasi rel stasiun lewat jembatan penyeberangan, lalu berjalan menelusuri Ibu Kota Vietnam yang masih tidur.

Sambil menunggu pagi, kami duduk-duduk sambil mengobrol ngalor-ngidul di salah satu bangku di pinggir Danau Hoàn Kiếm. Semula tempat itu sepi. Tapi, lama-lama pelataran danau itu makin ramai oleh warga Hanoi dan turis yang berolahraga.
Setelah hari agak terang, kami berjalan menelusuri Old Quarter (Kota Tua) untuk mencari penginapan. S yang masih letih oleh perjalanan berhari-hari dari Tanah Tiongkok merindukan kamar nyaman dan sedikit privasi, sementara saya ingin mencari hostel yang punya kamar dormitori. Maka, dengan berat hati kami berpisah jalan tanpa sempat bertukar nomor kontak.
Kalau memang ditakdirkan, suatu hari kami pasti akan kembali berjumpa dan bernostalgia.
Kayaknya jalur perbatasan China – Vietnam ini yang dilewati teman saya waktu dia ke sana. Saya pernah baca ditulisannya.
Lao Cai memang lumayan populer, Mas. Kalau mau ke Sapa naik kereta dari Hanoi, mesti berhentinya di sini karena di Sapa nggak ada stasiun kereta kecuali buat funicular. Tapi kayaknya lama-lama makin sepi. Soalnya jalanan Vietnam makin mulus dan orang-orang jadi makin senang naik bis ketimbang kereta api.
sering sekali kejadian begini, nemu teman asik di jalan, pisah, dibantuin stranger, dan entah kapan lagi akan berjumpa. Because solo travelling is also about meeting with new people and writing story about the people we met. Ya, mungkin itu makna perjalanan, ya mas…hehe
Itu besties banget ya bela2in keluar negeri demi datangin pesta ulang tahun.
btw, saya menemukan cerita sastra perjalanan yang keren. Saya seperti sedang ikutan berpetualang ke Hanoi. Btw, bucketlist tahun 2020 ini adalah 3 minggu jelajah indocina, saya sepertinya belum memasukkan Hanoi ke dalam rute. but, thanks for the experience, mas 😀
Iya, Mas. Mungkin itulah salah satu makna perjalanan. 😀
Akan seru sekali itu, Mas, 3 minggu menjelajah Indochina. Kecuali lewat udara, memang akan sangat memakan waktu kalau mampir ke Hanoi sebab jaraknya terlalu jauh dari, misalnya, Saigon, Luang Prabang, atau Siem Reap. Tapi Hanoi selalu bisa menunggu ‘kan, Mas. 😀
Terima kasih sudah mampir dan berkomentar, Mas. 😀
Waaaah seru. Dari dulu pengin jelajah negara-negara ASEAN selain Malaysia-Singapore, yang bener2 berbeda kulturnya.
Hajar, Masbro. Kutunggu ceritanya. 😀
uwww, semoga bisa dipertemukan dengan S dan M ya.. biar bisa melancong bareng lagi.. btw aku seolah ngrasain suasana ktmu sesama orang indo pas lagi liburan di luar negeri. seneng pastinya yak. hhh
Kalau memang dipertemukan sekali, pasti seru banget, Mbak. 😀
Senang sekali pastinya. Saya sendiri soalnya jarang banget ketemu orang Indonesia di hostel pas jalan-jalan. Mungkin kurang beruntung saja. Hehehe…
Ah..senang membaca kisah petualangannya.. seakan ikut jln2 di sana.. TFS ya..
Terima kasih sudah mampir, Mbak. 😀
wah, di perbatasan asal muasal nenek moyang orang Indonesia..
can you speak english? 😀 😀
-Traveler Paruh Waktu
Pas dia nanya ke orang, yang ternyata orang Inggris itu, pada ngekek semua hahaha 😀
Mlumpat sedikit bisa sowan ke mbah Kakung tuh mas…..
Btw, gimana salju sapa mas?
Datang kecepetan dulu, Mas, pas ke Sapa… baru awal musim dingin hahaha…
Pengennya kayak gitu tapi apa daya baru bisa melihat China, belum sempat menginjakkan kaki di sana. Ngerti nyasar ngono aku tak urus visa sik, Mas. Hehehe… 😀
Sapa buatku masih “List Keranjang” mas….terakhir hanya sampai Ha Long Bay…..conggret sdh ampai disonoh…..
Sekalian lewat kemarin itu, Mas. Dari Luang Prabang langsung bablas ke utara lewat tempat jin buang anak. 😀
Weh Luang Prabang sepi apa rame mas?….Dari Vientiane aku ke Pakse kala itu bablas Siem Reap….pernah mau ke LuangPrabang, tiket udah ditangan tapi cuti ga di acc…emang gw bodoh, jalan jalan pas perusahaan sdg high season…hahaha
Rame tapi nggak rame-rame banget, Mas. Kota mager sih Luang Prabang. Enak banget jalan kaki keliling kota lihat bangunan-bangunan tua di bantaran Sungai Mekong. Pasar malamnya juga nggak serame di Chiang Mai. Street foodnya juga menggugah selera. Sambelnya, aduh, saya masih inget sensasi makannya sampai sekarang. 😀
Kalau nge-loop ke Kamboja memang paling enak lewat Pakse, Mas. Dari Siem Riep bisa lewat darat ke Bangkok via Aranyaprathet. Tapi kalau mau menjelajah ke Thailand utara atau Vietnam, dari Vientiane memang paling enak ke utara. Dari Luang Prabang, bisa ke Hanoi, Sapa, atau ke Loei (Thailand).
Iya waktu itu rute yg udah kusiapin ke L.Prabang lalu naik bus ke Chiang Mai baru lanjut kereta ke Bangkok….tapi gagal.
Akhirnya aku nekat rubah tiket ambil berangkat jumat malam menuju Brunei….lalu jumat sabtu minggu berikutnya ke Yangon.
Parah
Bwahahaha… seru itu ngubah-ngubah rute, Mas. Itu yang bikin cerita jadi lebih seru. Asli deh, Mas Donny punya segudang cerita! 😀 Kuharap bisa segera baca cerita-cerita edan itu di travelingpersecond. Hahahaha
Sebelum membuat blog ini 2taon lalu…aku sdh dijuluki backpacker edan by teman sekantor dari lantai 1 hingga lantai 5. Bahkan CEO ku bilang, kamu ga cocok jadi marketing….cocoknya jadi pengusaha open trip….hahahahha.
Btw kamu punya diksi yg menarik ya mas di setiap cerita….jam terbangnya tinggi nih di literasi. Keren
Hahaha… Edan ditempa perjalanan ya, Mas? 😀 Eh, siapa tau dapet peruntungan bagus di industri open trip, Mas 😀 Jarang-jarang juga ada penyelenggara open trip yang “benar-benar” sudah makan asam garam perjalanan. 😀
Terima kasih apresiasinya, Mas. Baca komik Doraemon petualangan ternyata bermanfaat juga buat nulis, Mas Donny. Hehehe…
mungkin kalo aku yang ‘dimintai’ tolong sama si S, pastinya akan naruh curiga. karena banyak modus tipu tipis tipis.
untung yang diganti duitnya dengan traktiran makan nggak jengkel ya, kalo harga tiketnya nggak mahal amat dan setara sama harga makanannya bisa disebut impas
Pertemuan dengan S itu ngajarin saya banyak hal soal prasangka. Susah memang, dan mesti terus dilatih. Makanya saya ajak ngobrol terus buat ngorek informasi. Dan dianya juga seneng ngobrol. 🙂
Yang minjemin duit itu orangnya baik banget, Mbak Ainun. Seandainya kita nggak makan di sana, mungkin dia nggak bakalan kepikiran buat bayar dengan traktiran juga. Sayang sekali di Hanoi nggak ketemu sama dia.