Cuaca berubah sejak masuk Hue. Langit yang semula biru dari Bangkok sampai Hanoi—kecuali Sapa barangkali—kini menjadi kelabu. Hujan turun dalam berbagai wujud, dari mulai sebagai gerimis sampai hujan deras lengkap dengan condiment berupa kilat dan petir.
Biasanya pagi sampai tengah hari kering. Lewat jam 12 siang apa pun bisa terjadi.
Hari berikutnya setelah Timnas Vietnam menang, langit yang kelabu membuat saya lebih banyak menghabiskan waktu di hostel. Bangun siang, saya mengerjakan sesuatu di laptop sampai agak sore. Lapar, saya pergi ke luar sebentar untuk mencari pengganjal perut. Malamnya saya membawa laptop ke meja dekat pantri lalu menyibukkan diri entah mengerjakan apa.
Hujan turun dengan derasnya dan petir setiap sebentar menggelegar. Dari pengeras suara mendayu-dayu suara Karen Carpenter. Suara nostalgia.
“Wow, the Carpenters! Kau suka the Carpenters?” tanya saya pada laki-laki di balik meja resepsionis.
Ia tertawa dan mengiyakan. Laki-laki berkacamata bernama T itu beranjak dari meja resepsionis menuju kursi di seberang saya.
Saya lipat layar laptop kemudian kami mengobrol santai. Dari the Carpenters topik menjalar ke band-band lain sampai kemudian ke soal film-film tentang Vietnam dan perang. Budaya pop, terlepas dari segala konstruk dan ideologi yang hendak disampaikan lewatnya, barangkali adalah satu-satunya hal yang bisa menyatukan umat manusia.
Meskipun gemar musik dan film lawas, usianya ternyata hanya sekitar dua tahun di atas saya. Meski cuma terpaut sekira dua tahun, pencapaiannya jauh lebih banyak ketimbang saya. Ternyata ia adalah pemilik hostel ini—dan ia sudah mendirikan TT sekitar tujuh tahun lalu!
Ceritanya, begitu lulus dari sebuah universitas di Da Nang, T bekerja sebagai akuntan untuk pemerintah. Barangkali di Indonesia seperti lulusan STAN.
“Gajinya lumayan,” kenang T. “Sekitar 500USD/bulan.”

Tapi uang semata tak bisa menebus kebahagiaan. Lebih dari uang, T merindukan kebebasan. Tentu saja kebebasan susah didapat jika sehari-hari kau mesti berangkat-pagi-pulang-sore-Senin-sampai-Jumat dan hanya dapat jatah libur 12 hari per tahun. Akhirnya ia melepaskan pekerjaan stabilnya kemudian fokus mengembangkan hostel.
Pemuda negara komunis yang dari kecil sudah akrab dengan doktrin-doktrin sosialisme mengalami gejala alienasi. Menarik.
“Sosialisme cuma berguna saat perang,” ujar T. Dan suara rentetan peluru sudah berakhir sejak 45 tahun yang lalu.
Renungan baru.
Berbagi panggung dengan hujan yang terdengar seperti bunyi statis radio, juga dengan petir yang sesekali unjuk gigi memamerkan suara cemeti, Karen Carpenter masih di udara dan mengajak umat manusia bernostalgia.
“His head’s fucked up”
Keesokan harinya, pada sore yang masih kelabu, saya duduk sambil membaca buku di sebuah restoran di pojok Jalan Pham Ngu Lao. Sesekali saya menolehkan pandangan ke sekeliling untuk mengistirahatkan mata.
Deg!
Itu orang yang mencoba merebut uang saya. Si Good-Good-Good. Dari arah timur, ia berkendara ke barat. Tidak naik sepeda motor melainkan becak ala Vietnam alias cyclo. Berbeda dari malam kemarin lusa, matanya tak lagi berapi-api. Malam adalah mimpi, siang adalah kenyataan.
Kakinya tampak kepayahan mengayuh pedal becak roda tiga kosong tanpa penumpang itu. Keringan bercucuran di wajahnya. Andai saja saya tak pernah berurusan dengan orang itu, pastilah saya akan terharu melihat pemandangan itu.
Ia tak melihat saya; saya enggan bikin drama.


Saya pun kembali tenggelam dalam halaman-halaman buku. Sesekali saya angkat gelas berisi bir dingin lalu saya teguk isinya ke dalam saluran tenggorokan. Gelembung-gelembung udara tak henti-henti bermunculan dari dasar gelas, tak pernah putus asa mencari jalan keluar untuk kembali bersatu dengan langit.
Lalu tiba-tiba L muncul dari belokan mengendarai sepeda motor kesayangannya. Matanya yang awas melihat saya. Ia menepi kemudian menghampiri saya. Sama seperti kemarin lusa, mukanya ceria.
“What’s up, bro?!”
“Hi, L,” balas saya.
“Bagi rokok, dong?”
Saya sodorkan kotak Thang Long kuning itu beserta korek gas kepadanya. Segera saja asap indigo mengepul. Marlboronya sedang habis sepertinya.
“Kemarin kau ke mana, sih?” ia bertanya, duduk di kursi kayu di samping saya. “Aku cari-cari kau tapi tak ada.”
Saya ceritakan kejadian kemarin kepadanya, termasuk soal motor kami yang bertabrakan dengan motor lain dan bagaimana temannya itu berusaha mengambil uang dari dompet saya. Cerita saya selesai, L terkekeh.
“Terlalu sering ngobat dia itu. His head’s fucked up,” ujar L sambil memutar-mutarkan telunjuknya ke pelipis kanan.
Mendengar itu saya terdiam. Tak tahu lagi saya harus berkomentar apa. Fakta baru itu, dan pemandangan mengharukan ketika si Good-Good-Good tampak kepayahan mengayuh cyclo tadi, membuat saya jadi memaklumi segalanya.
Meninggalkan Hue
T sang pemilik hostel biasanya di belakang meja resepsionis hanya di malam hari. Sementara itu pagi dan siang yang berjaga di Hostel TT lain lagi, yakni seorang mahasiswa pekerja paruh waktu dan seorang perempuan berusia sekitar 40-an yang saya panggil “Chi” sebab ia lebih tua ketimbang saya.
Pagi hari ketika saya hendak check-out, Chi yang berjaga.
“Kamu baru bayar dua malam, ‘kan?” ia bertanya dengan bahasa Inggris seadanya.
Saya bingung ia bertanya demikian, sebab saya sudah membayar lunas tiga malam plus biaya penatu sekitar dua kilogram. Dan saya membayar langsung kepadanya. Saya masih ingat betul waktu ia mengonversi biaya dalam dolar ke dong lewat kalkulatornya.
“Sudah saya bayar lunas, Chi,” jawab saya, mencoba santai. Saya jelaskan pula bahwa untuk malam pertama saya membayar dengan dolar, sementara untuk malam kedua dan ketiga—juga biaya penatu—saya bayar dengan dong yang saya ambil di ATM sebelum menonton pertandingan sepakbola Vietnam vs. Filipina. Supaya yakin, saya minta ia mengecek catatannya.
Ia cek catatannya. Yang dicoret hanya pembayaran untuk malam pertama. Kesalahan: saya tidak meminta nota.
“Atau coba telepon penjaga yang satu lagi,” saran saya.
Ia lalu mencari kontak sang mahasiswa pekerja paruh waktu itu di ponsel, menyentuh tombol panggil, lalu setelah tersambung memberikan ponsel itu pada saya. Yang saya tangkap dari perkataan mahasiswa itu hanya “I don’t know… I don’t know….”

Chi mulai meringis. Air mukanya jadi tidak sabar seperti hendak menangis.
“Saya sudah membayar, Chi,” ujar saya.
“No… No…,” sanggahnya sambil menyodor-nyodorkan catatannya.
Suaranya makin meninggi, begitu pula suara saya, sampai-sampai seorang tamu yang merasa istirahatnya terganggu berteriak “HEY! HEY! HEY!” dari kamarnya di atas sana. Tidak elok, saya tahu, tapi saya tak mau ditipu.
Lalu saya nekat pergi dari hostel itu. Takkan ada ujungnya ini. Lagipula saya mesti segera ke Stasiun Hue untuk menanti kereta yang hendak berangkat ke Da Nang. Kalau memang saya salah dan ia melaporkan saya ke polisi, biarlah saya dikejar polisi dan menanggung sendiri akibatnya.
Keluar dari Pham Ngu Lao, saya masuk ke Le Loi dan berjalan lurus menuju Stasiun Hue. Tak ada yang mengejar saya selain rintik-rintik gerimis yang kemudian berubah jadi hujan.
Waduuuuh, itu Chi-nya betulan lupa atau sengaja mau cari untung? Kok KZL sekali saya bacanya :< ada-ada saja ya, kalau itu kejadian di saya mungkin saya sudah naik delapan oktaf ahahaha~ dan cerita di atas jadi pelajaran juga untuk saya selalu meminta bills ketika melakukan pembayaran agar nggak dipermainkan orang 😀
By the way, ternyata Mr. Good itu siangnya kerja mengayuh cyclo? Kontras sekali siang dan malamnya. Saya kira memang anak motor yang suka kebut-kebutan. Hehehehe. Ohya, saya suka cara mas menuturkan cerita. Serasa ikut jalan-jalan jadinya hahahaha. Nggak seperti saya yang ala kadarnya kalau menulis perjalanan 😀
Keep writing ya mas, nggak sabar baca cerita berikutnya ~
Kayaknya miskomunikasi aja sih sebenernya. Akhirnya saya minggat aja deh biar nggak ketinggalan kereta. 😀 Iya, Mbak. Minimal kalau di hostel kita lihat resepsionisnya ngasih tanda kalau kita udah bayar, daripada miskom di akhir. 😀
Iya, ternyata kerjaannya jadi kusir cyclo. Kebut-kebutan cuma pas ada event-event tertentu aja. Hehehe…
Terima kasih, Mbak 😀
Termasuk peka T dengan daerahnya. Melihat ada peluang untuk membuat penginapan, dia terjun ke sana. Layak ditiru.
sementara Chi itu mirip ibu kos saya hahahahahha.
Tiap nitip uang kos, tanpa nota selalu lupa catatannya.
Sekarang, tiap bayar kos aku foto dan kuminta notanya hahahahahahha
Berarti ada rencana bikin akomodasi nih di Karimunjawa? 😀
Nah, itu dia. Saya dulu juga pernah, Mas. Temen nitip pakai amplop, tapi dia nggak nulis tanggal, eh saya yang disalahin. 😀 Ternyata kita tetep mesti minta bukti pembayaran apa pun bentuknya. Buat jaga-jaga aja.
Fak yu
Hail Kojek! Bangkit lu Jek? Kesambet apa?
Berlanjut terus niih Mas kisah tentang Vietnam-nya. Buat saya yg belum pernah kesana, sungguh menjadi semacam jendela melihat sisi-sisi kehidupan disana.
Btw, suka denger Carpenter ya Mas? Saya suka dg beberapa lagu-nya. Kadang masih saya putar. Beberapa lagu Carpenter di cover juga oleh musisi jazz. Keren deh jadinya…
Salam,
Iya, Pak. Berlanjut terus. Terima kasih sudah ikut jalan-jalan bareng saya. Hehehe.. 😀
Suka, Pak. The Carpenters ini buat saya kayak the Beatles tapi versi cewek. Wah, merdu sekali pasti itu versi jazz dari lagu-lagu the Carpenters. Tiba-tiba jadi terbayang gimana Rainy Days and Mondays diaransemen jazz. 😀
Asik Mas baca-baca kisah perjalanannya di Vietnam. Jadi penasaran, apa Mas saat ini tinggal disana atau sementara waktu saja disana, traveling saja maksud saya?
Tentang lagu Carpenter yg di cover ke jazz touch saya temukan misalnya di Mocca untuk lagu Sing dan di grup jazz Jepang, Paris Match, lagu Close to You.
Salam,
Terima kasih atas apresiasinya, Pak. 😀
Saya traveling saja dan sekarang sudah kembali ke tanah air. Cerita-cerita ini saya rangkum dari buku catatan perjalanan. 🙂
Oh, iya. Cover “Sing” Mocca merdu sekali, Pak. Meskipun yang dibawakan lagu the Carpenters, menurut saya ciri Mocca tetap kental dan memberi warna tersendiri untuk lagu itu. Cover “Close to You” Paris Match saya belum dengar, tapi akan segera saya cari di YouTube. Terima kasih untuk rekomendasinya, Pak. 🙂
Waduh, si Chi itu keterlaluan, masa sudah bayar tapi lupa atau pura-pura kali ya biar bayar dobel.
Tapi memang betul sih, sebaiknya memang minta nota saat membayar agar ada bukti. Pelajaran juga buat saya yang kadang percaya juga sama orang, giliran dia lupa, kadang kita debat, cape deh..😂
Iya, Mas. Mending minta buktinya dulu supaya nggak bermasalah di belakang. 😀
Thanks sudah mampir.
akakakakak… bener2 banyak pahitnya ini dari pada senengnya 😛
ini bisa juga lho dikirim ke website perjalanan.. 🙂
dan ternyata… itu jejaka petualang ya bukan jejak petualang 😀
Mungkin kenangan-kenangan ini terlalu personal untuk tayang di website perjalanan heheheh 😀
Terima kasih sudah mampir 😀
wkwkwwkk
betul betul betul
kita harus tetap menjaga eksklusifitas (?) kita, mana-mana yang bebas gratis dibagi dan mana2 yang hanya boleh untuk kalangan terbatas 😀 😀 😀
eh ternyata saya salah baca,
ga kebaca “website perjalanann”-ya
udah terlanjur kutulis yang di atas, ga usah ku-delete ya.. ;P
Ruang buat berekspresi keknya memang lebih luas di blog. 😀
iye lah mereka situs resmi, harus menjaga estetika (?) dan kepuasan pembaca 😀
Kalau blog khan punya kita sendiri, suka2 kita mau ngapain aja 😀
Bener bats! 😀
ahahaha
aku kira hue ini apa, ternyata tempat
Tepat sekali, Mas 😀
Laah kok gini banget yak deramahnya hehehe. 🙂
Btw, Hue di Vietnam ini kotanya unik lho. Kota sejarah yang kalem. Banyak orang pake cheong sham panjang dan tukang buah pikul yang menarik turis barat karena dianggap eksotis. Konon, makanannya juga paling autentik seVietnam.
Btw, alumni STAN kah? *kepo*
Entahlah, Mas Adie. Mungkin memang sudah ditakdirkan begini. 😀
Iya, Mas. Kalem banget, meskipun dulu pernah jadi pusat kerajaan besar di Vietnam dan jadi medan salah satu pertempuran terdahsyat di Perang Vietnam.
Btw, saya lihat juga sampai ke kota-kota besar kayak Saigon dan Hanoi juga masih ada pemandangan lawas seperti tukang buah pikul itu. Dan rasanya agak-agak anakronis juga karena di jalanan banyak berkeliaran mobil dan motor baru (motor listrik, contohnya). Sama rasanya kayak melihat “skyscrapper” lawas di Saigon yang berdampingan sama gedung-gedung pencakar langit anyar.
Kebetulan bukan alumni STAN, Mas. 😀
keren banget tulisannya, jadi kebawa emosional juga hehe sabarlah ya mau lanjut ah ke postingan lainnya habis seru sih.
Terima kasih sudah mampir dan baca-baca, Mas. 😀
Hm…
Shige… Animaku, ah, bukan… Animemata? 😀
Bukan dua-duanya hahahaha…
Di mana kita ketemu dulu aarrghhh saya lupaa
Belum pernah kopdar kita, Bang… 😀 Dulu tahun 2007-2009 berkeliaran di blogosphere juga. Tapi lama menghilang 😀
Bukan ketemuan darat maksud saya, tapi ketemuan di internet. Itu yang saya lupa dimana tepatnya. Nicknya familiar banget. XD
Hehehe… Dulu berkeliaran pas masa-masa kejayaannya Sora9n alias Zenosphere. Sering nimbrung juga di blognya Hoek Soegirang–yang sekarang entah di mana. 🙂
Naaaaahhhhh! Terus Hoek cabut karena tidak bisa lagi foto bareng dede-dede SMA tahun 2008.
Iyaaaa… Pada sedih Hoek menutup karir. Banyak yang bikin obituarinya, termasuk saya. Hahaha… Aduh, gimana ya kabar orang itu? Jangan-jangan pernah papasan tapi nggak sadar aja.
Mungkin jadi youtuber. Youtuber adalah blogger zamann now, dan mestinya kita juga jadi youtuber. 😀
Hahaha…. Nggak bisa ngebayangin Hoek Jadi Youtuber. Semua P jadi F sama dia nanti. 😀
Kayaknya dulu di blognya Sora9n (yang terus migrasi ke Zenosphere) deh Kaks 😀
Atau wadehel? =))
Kayaknya hehehe… Tapi kayaknya pas mulai ngeblog dulu cuma dapet cerita-cerita soal wadehel dari para penerus hahaha… Wadehel terlalu cepat bunuh diri. 😀 Eh… Atau jangan-jangan Sora9n itu wadehel? Atau Black_Claw wadehel?!
Oh, bukan kok. Saya cuma orang yang kalau melakukan sesuatu, suka terikat batinnya, makanya tetap ada di blogsphere. 🙂
Berarti Oy Uyo emang keliru. Hahaha. Senang banget bisa ketemu lagi sama kawan narablog setelah 1 dasawarsa nggak saling komen. 🙂
Saya masih sering buka-buka blognya Sora9n, Qzink666, Hoek, berharap ada keajaiban dan mereka bangkit dari kubur hahaha
Wah, coba sekalian kosple jadi Hachiko. 😛
Kayak headernya blog Hoek. Hahahaha
pengalamannya seru nih masnya.. jadi emang kadang perlu sedikit drama ya biar perjalanan kesuatu tempat itu punya cerita menarik untuk dijadikan pelajaran 😀
Hahaha. Seringnya drama itu datang tanpa diminta. 😀
Saya jadi penasaran, apakah ada polisi yang bercengkrama denganmu kak di stasiun?
Polisi berkostum sih kayaknya enggak, kak. Ndak tau juga kalau yang menyamar. Hehehe
apakah kira-kira yang dilakukan Chi itu modus, atau memang murni salah komunikasi?
tapi yang jelas ini jadi pelajaran kalau kita memang harus meminta bukti pembayaran di setiap transaksi
Entahlah, Daeng. Mungkin Chi-nya memang sedang banyak pikiran sampai-sampai jadi lupa tamunya sudah bayar apa belum. Sejak itu saya jadi lebih hati-hati juga, sih. Di depan selalu dipastikan apakah pembayaran dicatat atau tidak. Paling malas kalau mau memperpanjang waktu menginap terus ditanyain lagi apakah sudah bayar apa belum. Rasa-rasanya saya yang bersalah terus hahaha…
noted, besok besok kalo aku pesen go show harus lebih detail minta nota kwitansi, atau kalau data dia pakai manual di kertas, aku akan minta tunjukkan catatannya dihadapanku hehee
jarang jarang sebenernya aku pesen go show, mungkin sehari sebelum sampai di kota A di negara tsb, akan coba booking onlen
kalo aku yang di posisi mas moris waktu itu, bisa jadi aku akan bayar, karena males debat. tapi harusnya ya ditinggal ‘kabur’ aja, jelas jelas kita udah bayar. serba salah juga tapi mau nyalahin juga ngga ada bukti
Waktu itu saya sudah nyiapin alasan seandainya dia telepon polisi. Tapi, sampai nyampe stasiun tetep nggak ada yang ngikutin, berarti aman. 😀
Supaya pasti, emang lebih enak booking online, sih, Mbak. Cuma booking online ini buat saya kurang pas karena nggak pakai kartu SIM lokal dan beli paket internet. Sengaja nggak beli kartu SIM kalau jalan-jalan, sekalian buat detox ponsel. Koneksi paling cuma kalau di hostel aja. 😀
Iya, sejak itu saya jadi lebih hati-hati soal pembayaran. Tapi di Siem Reap hampir debat juga sama pengelola. Untungnya alibi saya kuat. 🙂
hehehe kayaknya aku detox ponsel waktu ke bangkok terakhir kali, bukan karena nggak beli SIM, tapi karna iphonenya drop batrainya wkwkwkwk, pengen esmosi. tapi kalau dari awal niat memang nggak buka buka hape/scroll ya nggak akan tergoda juga buat buka-buka hape
waduh yang di siem reap nggak sampe jotos jotosan ya hehehe, untunglah. Kalo akuu cewek yang debat mungkin kalah, kalah bukan berarti ngalah, tapi males perang mulut wkwkwk
kadang kalo lagi mood bagus, aku bisa galak juga hahaha
Detox ponsel dan sinyal internet itu kemewahan banget. 😀
Saya maklum aja sih kalau kadang pihak hostel khilaf juga dalam mencatat transaksi. Cuma yang nggak rela itu masa mereka khilaf terus kita yang dirugikan. 😀 Jadi, mending kitanya aja yang antisipasi. 😀