Menuju Ghorepani

Usai menggosok gigi, mencuci muka, dan mengosongkan perut, saya keluar dari kamar mandi. Gigi-gigi saya bergemeletuk tidak terkontrol menghadapi dinginnya udara pagi. Baru jam 7 lewat namun langit sudah biru. Awan hanya berupa arsiran. Bendera doa yang warna-warni menari-nari di kanopi.

Di kamar, Ezek sedang berkutat dengan ransel gunungnya. Saya juga mesti segera bersiap-siap.

Tak terlalu banyak barang yang mesti saya kemasi. Saya bahkan tak perlu menggulung kantong tidur. Buat saya, menggulung kantong tidur adalah kegiatan nomor dua paling membosankan saat mendaki setelah mencuci perkakas makan. Kantong tidur belum saya keluarkan, juga long johns. Tadi malam, begitu tiba di kamar selepas makan malam, saya langsung membalut diri dengan selimut lalu tidur. Untungnya dingin malam musim gugur di Tikhedhunga masih bisa ditahan oleh selapis selimut tebal.

>Perbukitan yang mengelilingi Tikhedhunga

Dalam sekejap, tas gunung saya sudah siap untuk digendong ke Ghorepani. Baju kaus kemarin yang masih lembap oleh keringat saya ikatkan ke tali ransel. Saya hendak menjemurnya dalam perjalanan. Tengah hari nanti baju itu pasti sudah akan kering dan bisa dipakai kembali.

Usai melipat selimut dan memastikan tak ada barang yang tertinggal, saya keluar kamar dan mengikuti Ezek turun lewat tangga kayu ke pekarangan. Kami menyandarkan tas gunung ke undakan, memesan makanan, lalu duduk menunggu sarapan di meja bundar.

Vas berisi kembang plastik itu masih ada di meja. Di dinding putih restoran seberang Indra Guest House, mata saya menangkap sesuatu yang menarik: simbol palu-arit. Jauh di sana, setengah perbukitan masih tertutup bayang-bayang.

Saya menyulut rokok, Ezek menyulut lintingannya.

“Suatu saat aku akan kembali ke sini,” ujar Ezek memecah keheningan. “Seminggu, mungkin—atau sebulan.”

Tikhedhunga memang tenang sekali. Saya akan betah juga berlama-lama di sini. Hari-hari yang sunyi akan saya habiskan dengan membaca, menulis, atau tak melakukan apa-apa. Tiap pagi saya akan digugah matahari. Saban malam saya bakal didongengi gelap sampai lelap.

Lalu aroma kari dan bawang putih menguar. Sarapan kami datang dan lamunan saya buyar. Ezek makan dal bhat dan chapati. Ia sedang tergila-gila dengan makanan mirip tortilla itu. Mungkin chapati bikin ia ingat hari-hari yang pernah ia lewati di pesisir Tulum, Meksiko. Saya sedang tak berminat makan dal bhat. Gantinya, saya memesan chowmein telur yang disajikan dalam piring aluminium besar.

Sama seperti dal bhat, porsi chowmein itu besar. Semula saya hendak menyisakan mi goreng itu dan memasukkannya ke Tupperware untuk makan siang. Tapi saya kebablasan, entah karena chowmein itu memang enak atau karena saya sedemikian lapar setelah tidur sekitar sepuluh jam.

Usai makan, kami menghabiskan minuman sembari menghisap tembakau. Sedari tadi sudah ada beberapa pelancong yang lewat. Kalau jam segini saja mereka sudah mulai jalan, jam berapa mereka bangun?

Menjelang pukul delapan, gelas teh susu saya sudah kosong. Kami mendaki tangga ke ruang makan Indra Guest House lalu menebus biaya makan malam kemarin dan sarapan barusan.

>Indra Guest House, Tikhedhunga

Saya masih tak percaya kami mendapat penginapan gratis di hari pertama perjalanan menuju Annapurna Base Camp. Sebelum berangkat ke Nayapul kemarin, saya sudah siap-siap menerima kenyataan bahwa kami akan kesulitan mencari kamar kosong dan harus tidur di ruang makan. Dalam cerita-cerita yang beredar di jagat maya, pada pendakian musim gugur begini biasanya banyak pelancong yang mesti rela tidur di ruang makan karena sudah tak ada lagi kamar kosong.

“Jangan lupa rekomendasikan Indra Guest House ke teman-teman Anda, ya?” ujar saudara laki-laki Raju Chetri saat kami turun dari ruang makan. Usai menyimpan uangnya, ia ikut turun, berjongkok di tangga batu, dan melihat kami menggendong tas. Ketika kami mulai berjalan meninggalkan Indra Guest House, ia tersenyum dan melambaikan tangan.

Kami pun melangkah di jalan batu di antara bangunan-bangunan biru-putih Tikhedhunga. Para penjual suvenir sudah mulai menjajakan dagangan. Para pelancong sedang bersiap-siap melanjutkan perjalanan.

>Tangga batu yang membelah Tikhedhunga

Keluar dari Tikhedhunga, kami tiba di pinggir lembah. Cahaya surya belum sepenuhnya sampai ke sana. Setelah melewati pohon sakura yang tampak semarak karena dikelilingi bendera doa, kami tiba di jembatan gantung yang lumayan panjang. Lembahnya cukup dalam. Di sebelah sana, di bagian hulu, sebuah air terjun tampak begitu pasrah pada gravitasi.

>Jembatan gantung selepas Tikhedhunga

Kami pun semakin menjauh dari Tikhedhunga. Tangga batu itu membawa kami ke tempat-tempat yang makin tinggi. Cahaya matahari semakin panas dan pemandangan menjadi kian terbuka.

Seperti kemarin, Ezek masih di depan. Saya berjalan santai di belakang. Sejak pertama kali mendaki gunung saya terbiasa berjalan di belakang. Jarang sekali saya di depan, kecuali jika benar-benar dibutuhkan.

Dekat sebuah pohon sakura kami berhenti untuk merokok. Seekor anjing hitam yang dari tadi mengintili kami ikut berhenti. Tiba-tiba saya teringat roti bantal yang kemarin saya beli di Pokhara. Masih ada sisa beberapa potong. Saya keluarkan roti itu, saya taruh di tangan, lalu saya sodorkan ke anjing hitam itu. Ia memamahnya dengan lahap. Remah-remah roti yang tersisa di tangan saya ia jilat sampai habis. Lidah anjing ternyata lembut.

>Pohon sakura di jalur antara Tikhedhunga dan Ulleri
>Permukiman dan terasering di perbukitan

Kami terus berjalan di tangga batu, melewati beberapa pohon sakura, keledai kesepian yang berdiri menghalangi jalan, lalu tiba di punggungan terbuka. Di lereng bukit nun jauh di sana, di antara ladang-ladang yang sudah menguning, berdiri rumah-rumah panjang.

Pemandangan itu membujuk saya untuk kembali rehat. Saya keluarkan sebatang rokok lalu saya sulut.

Hari makin semarak. Suara alam tak lagi sendu. Sisa kantuk saya sudah hilang.

Lalu, dari arah bawah terdengar suara manusia. Serombongan pelancong pun muncul. Pemandu-pemandu mereka tampak bosan—barangkali karena sudah berkali-kali melewati trek ini. Beberapa di antara pelancong itu berhenti dekat kami. Ada yang hanya duduk, ada pula yang merekam suasana dengan kamera aksi. Tapi mereka sepertinya buru-buru. Beberapa menit kemudian mereka melanjutkan perjalanan. Kami masih tetap di sana.

Smit dan Sonni

Kami tiba di jalan menanjak yang tampak seperti versi purba tangga spiral di rumah-rumah mewah ala sinetron Indonesia akhir 90-an. Tanjakan itu teduh. Satu-dua pohon sakura menjulang di pinggir trek, juga rumpun-rumpun pohon bambu kecil. Dari balik rumpun-rumpun bambu itu, di sisi timur, di atas bukit hijau, tampak sebentuk benda putih: puncak gunung.

>Rumpun bambu dengan latar perbukitan dan puncak bertudung salju

Tanjakan itu berujung di depan sebuah penginapan. Jalan menjadi datar, lalu berbelok tajam. Puncak gunung itu tampak lagi. Kini ia seperti matahari di antara dua bukit dalam lukisan lugu karya siswa taman kanak-kanak. Jalur kembali terbuka. Matahari garang. Dingin pagi sudah hilang. Kaus oblong yang saya jemur di keril sudah kering. Sebaliknya, kemeja flanel yang saya pakai telah basah oleh keringat.

Senang sekali rasanya ketika akhirnya kami tiba di jalur yang teduh. Di ujung tanjakan ada bangku panjang yang tersusun dari batu-batu alam yang biasa digunakan para Sherpa untuk istirahat. Kami duduk di sana. Dari balik pepohonan, saya bisa melihat permukiman yang baru saja kami lewati.

Lalu, dari bawah muncul dua orang anak kecil berseragam sekolah. Seorang bocah laki-laki dan seorang bocah perempuan. Bocah laki-laki itu tampaknya lebih tua. Jalan mereka cepat. Saya kira mereka akan terus berjalan entah ke mana—ke sekolah, barangkali. Rupanya tidak. Mereka berhenti di depan kami, menyandarkan diri ke sebuah batu besar, lalu menatap kami dengan muka datar.

Ezek mengajak mereka mengobrol.

“Argentina,” ujarnya sambil menunjuk dirinya sendiri. “Indonesia,” Ezek meneruskan sambil menunjuk saya. Lalu ia melempar pertanyaan absurd, “And you?

“Nepali,” jawab si bocah laki-laki.

Tentu saja mereka Nepali, Bung Ezek.

Twenty-seven, thirty-one,” lanjut Ezek sambil menunjuk kami secara berturut-turut. “You?

Ten.”

“Ezequiel,” ujar Ezek. Lalu ia menyebut nama saya. “You?

“Smit,” jawabnya. Ia menunjuk anak perempuan di sampingnya, “Sonni.”

Is she your sister?” Kali ini saya yang bertanya.

No,” jawab si bocah laki-laki sambil menggeleng dengan percaya diri, “my brother.

Saya terdiam. Ezek susah payah menahan tawa—saya juga, sebenarnya. Sonni memakai rok dan rambutnya panjang. Tapi saya tak mendebat Smit. Dia jelas lebih kenal adiknya. Lagipula, bukan urusan saya apakah Sonni laki-laki atau perempuan.

Selama sekitar setengah menit, yang terdengar hanya suara alam.

Give me money,” ujar Smit tiba-tiba.

Tawa Ezek akhirnya meledak.

You want candy?” balas saya sambil menahan senyum.

Smit menggeleng, tapi menjawab: “Yeah.

Saya merogoh kantong lalu menyerahkan segulung permen Mentos rasa jeruk pada Sonni. Mentos itu baru saya makan satu-dua. Bocah perempuan itu menerima permen sambil tersenyum manis. Kemudian, tanpa pamit, mereka melanjutkan perjalanan.

Ketika Smit dan Sonni sudah menghilang di ujung jalan setapak, kami kembali melangkah menelusuri tangga batu. Tak sampai lima belas menit, kami tiba di Ulleri, disambut dua penginapan yang kemegahannya bisa menyaingi pondokan putri mewah di Babarsari.

>Annapurna South (kiri) dan Hiunchuli (kanan)

Zona pandang kian terbuka. Di timur-laut sana, di antara dua bukit, dua puncak gunung bertudung salju mengintip. Keduanya terhubung oleh pelana. Salah satu di antaranya adalah puncak yang tadi saya lihat sebelum bertemu Smit dan Sonni. Saya jadi penasaran dengan nama kedua gunung itu. Dari tas pinggang yang saya selempangkan di dada, saya keluarkan peta. Dua puncak itu ternyata Annapurna South dan Hiunchuli.

Ulleri tampak lebih kekinian ketimbang Tikhedhunga. Parabola-parabola kecil terpasang di atap-atap rumah. Di puncak punggungan di sebelah barat sana, mata saya bisa menangkap sebuah benda yang tampak familiar: mobil jip.

Desa berakhir di sebuah jalan tanah besar yang tampaknya baru saja dilebarkan. Beberapa orang pekerja sedang sibuk menyusun batu untuk membangun tanggul yang menopang lahan sebuah gereja Protestan. Di ujung jalan, berhadap-hadapan dengan jurang, terparkir dua jip Tata Motors.

Antara Ulleri dan Ghorepani

Dugaan Raju Chetri soal Tikhedhunga yang kini menjadi sepi karena sudah ada jalan ke Ulleri barangkali benar. Selepas Ulleri, trek menjadi kian ramai. Kami jadi lebih sering menyalip atau berpapasan dengan rombongan pelintas-alam; saya jadi lebih sering mengucapkan “namaste.

Menjelang Banthanti, tampak puncak gunung bertudung salju yang lain. Bentuknya seperti sirip ekor ikan. Tanpa melihat peta pun saya tahu itu puncak apa: Machhapuchhre.

>Puncak Machhapuchhre (kanan)

Banyak trek landai selepas Banthanti. Kanopi hutannya cukup rapat sehingga sinar matahari menjelang tengah hari tak terasa terlalu menyengat di kulit saya. Di sebelah kanan jalan, di tubir lembah, kami menemukan sebongkah batu besar yang tampaknya nyaman untuk istirahat. Di sana kami makan siang.

Selama rehat di atas batu, beberapa rombongan pelancong lewat. Sekali, seorang turis dari Latvia yang sedang dalam perjalanan turun berhenti, mengeluarkan kameranya, lalu memotret kami. Saya merasa seperti bintang sirkus. Tapi, tak cuma manusia yang lewat.

>Tempat makan siang, antara Banthanti dan Nangge Thanti

“Lihat,” ujar Ezek beberapa saat sebelum kami lanjut berjalan. “Itu ada kucing.”

Benar. Ada kucing. Dengan cuek ia mengayun-ayunkan keempat kaki kecilnya, berlari-lari kecil ke arah atas. Mau ke mana dia?

Usai makan siang, kami masih berjalan di trek landai. Pepohonan masih rapat. Dari tadi, saya merasa familiar dengan trek seperti ini. Ah, trek ini mirip jalur pendakian Gunung Gede-Prangrango dari Cibodas sampai Kandang Badak.

Jalur yang teduh itu berakhir di sebuah jembatan beton. Kami menyeberangi jembatan itu, meniti tangga batu, lalu tiba di jalur yang terbuka.

Langit masih biru dan matahari masih garang. Suara angin hilang timbul, begitu pula bunyi gemercik air. Jalur itu membawa kami berbelok ke kanan dan ke kiri, melewati pohon-pohon yang kesepian, pondok dan rumah yang dibangun di antah-berantah, sampai akhirnya tiba di Nangge Thanti.

Banyak pelancong yang sedang makan siang di Nangge Thanti. Kami terus saja melangkah ke arah Ghorepani. Saya nikmati setiap langkah, belokan, dan tanjakan.

Saat sedang terengah-engah mendaki tangga batu terjal, saya dengar Ezek berkata: “Apachetas en el Himalazha.” Ia sedang bicara dengan kamera ponsel. Rupanya di depan, di pinggir jalur, ada sepetak gundukan yang dipenuhi batu bersusun. Dalam bahasa Spanyol, batu bersusun itu disebut “apacheta.

Tapi saya tak tertarik dengan apacheta. Saya lebih tertarik dengan bagaimana Ezek melafalkan “Himalaya.” Dia tak pakai “y,” tapi “zh.”

“Jadi, kalian di Argentina melafalkannya ‘Himalazha’?”

“Iya,” katanya. Ezek lalu bercerita bahwa waktu kecil ia pernah dimarahi bapaknya karena melafalkan “y” sebagai “y” seperti dialek standar bahasa Spanyol. “Zh” adalah identitas Argentina, seperti d dan dh yang menjadi ciri bahasa Jawa, atau huruf vokal e yang kental pada penutur bahasa Minang.

>”Apachetas en El Himalaya”

“Jadi, ‘yo soy’ dalam dialek Argentina dilafalkan ‘zho soy’?”

“Iya,” jawab Ezek.

Kami meninggalkan apachetas itu, kembali meliuk-liuk di setapak tanah, lalu tiba di jalan teduh tertutup pohon-pohon besar yang tampak seperti cantigi-cantigi raksasa di sekitar puncak Gunung Singgalang. Kabut sesekali melintas. Udara mulai terasa dingin.

Setapak tanah itu pun berganti menjadi jalur berbatu. Di ujung sana menganga sebuah gapura. Kami tiba di Ghorepani.

Ada pos pemeriksaan selepas gapura. Kami meletakkan tas gunung di pinggir jalan lalu melangkah ke bangunan pos. Karena tak ada orang, saya mengucapkan namaste. Selang sebentar, seorang polisi wisata berkacamata muncul dari dalam. Ia mengenakan jaket tebal dan kupluk. Tangannya menggenggam secangkir minuman panas.

“Selamat datang di Ghorepani,” ujarnya. “Boleh lihat permit Anda?”

Dengan gerak yang santai, ia menerima kartu ACAP dan TIMS kami kemudian mencatatkan sesuatu di register.

Tak sampai lima menit, ia selesai mencatat kemudian mengembalikan kartu-kartu perizinan kami. Saat ransel sudah kembali kami gendong, beberapa orang pelancong muncul dari bawah. Mereka rombongan yang tadi mendahului kami sebelum Ulleri.

>Ghorepani (dok. Ezek)

Kemudian kami berjalan di antara bangunan-bangunan bercat biru. Kabut mulai menggantung di puncak-puncak bukit. Sebentar lagi mestilah ia akan menyapa atap-atap bangunan dan membelai kembang-kembang marigold.

Di pertigaan menuju Tadapani ada sebuah penginapan dua lantai. Kami melangkah ke pekarangannya dan membuka pintu penginapan itu. Seseorang segera datang menyambut. Masih ada kamar kosong. Kami pun diantar ke kamar paling ujung di lantai dua.

27 pemikiran pada “Menuju Ghorepani

  1. Saat sampai di pos Ghorepani dan masih mengambil nafas, saya sebel banget hahaha karena ternyata harus naik lagi lewat tangga2 batu sialan itu untuk sampai ke Upper Ghorepani. Tapi terbayarkan sih krn viewnya langsung ke gunung-gunung.
    Ugh… ceritanya benar-benar mengingatkan kembali jalan yg saya tempuh dulu. Enak juga kalo jip sudah sampai Ulleri minimal tangganya berkurang. 😂😂😂

    1. Waktu itu, begitu sampai di gerbang Ghorepani, sudah nggak terpikirkan lagi buat lanjut ke Upper Ghorepani, Mbak. 😀 Selain karena pasti bakal trekking lagi pas ke Poon Hill, Upper Ghorepani mesti lebih ramai ketimbang Lower. Daripada susah-susah nyari penginapan di Upper Ghorepani, kami langsung masuk aja ke penginapan pertama yang kira-kira menarik. 😀

      Hehehe. Iya, enak banget pasti itu naik jip sampai Ulleri. Apalagi kalau jalannya mulus. 😀

  2. Wow! What an adventure. Great post, as always and I felt like I was there looking at your feet 🙂

    These photos tell a great tale on their own.

    Hope all is well in your world. Be safe 🙂

      1. Hey Ajo!

        You are welcome! I was wondering how you are. Life is getting better. We are in a less restrictive tier here in California. Hope it is getting better over there. We are leaving for my sisters memorial this morning. Three whole days 😦

        Have a great day and be safe 🙂

      2. Hi, M!

        I’m fine. 🙂 It’s really nice knowing that things are getting better there in California. I saw it on the news that more than half of the US population have been vaccinated. We’re catching up here. 😀

        So sorry to hear of your loss.

        Stay safe there…

      3. Glad you are doing well. It is nice having the piece of mind the vaccine brings. I am just getting over something that I caught this weekend and it was no bueno 😦 On the plus side, I lost 7 pounds 🙂

        Thank you. It’s been almost three months and it still feels like it just happened.

        Stay well and be safe 🙂

  3. Saya sangat ingin bisa melakukan petualangan seperti ini. Masih mencari waktu dan kesempatan yang baik. Masa-masa pandemi ini seharusnya adalah kesempatan yang baik, tapi tidak untuk saya. Sedihnya.

    Terima kasih sudah berbagi tulisan menarik seperti ini, Kak.

    1. Iya, Mas Sitam. Mereka sudah pede ngomong dalam bahasa Inggris meskipun masih semuda itu. 🙂

      Beberapa tahun yang lalu kayaknya batu bersusun itu sempat ngetren, Mas Sitam. Ada yang dicat juga kalau nggak salah.

  4. Tulisanmu ini selalu bikin aku terinspirasi ingin pergi traveling seperti ini. Untung segera teringat kalau aku tidak punya keberanian cukup untuk melakukannya. Jadinya, ya sudahlah, baca saja kisah perjalananmu.

  5. Baca ini berasa ikut trekking dari tikhedhunga menuju ghorepani 😀
    Kalai treking memang perlu mendapatkan ritme kita sendiri. Biar nantinya ga cepat ngos-ngosan. Ini sangat penting sih utk perjalanan jarak jauh.
    Kayak mas morish dan ezek trekkingnya santai sekali 😀

  6. Kayaknya kalo ikut pendakian begini, memang hrs santai yaaa. Lebih menikmati view-nya… Ga terburu2. Aku suka ngeliat view alam nya mas. Kebayang sih kalo tinggal lama di sana, bisa melihat puncak Himalaya setiap hr, mungkin aku ga tertarik utk kemana2 hahahhaha.

    Anak kecilnya kocak :D. Berarti kebanyakan orang di sana pasti mengerti bahasa Inggris yaaa

    1. Iya, Mbak. Trekking lama kayak gini perlu daya tahan. Kalau maksain buru-buru, akhirnya cuma dapet capeknya aja. 😀

      Pemandangannya menghipnotis, ya, Mbak? 😀 Desa-desa di trek Annapurna Base Camp ini memang cocok buat santai-santai, Mbak. Bikin betah dan males ke mana-mana. 🙂

      Iya. Kocak banget dia. 😀 Di kota-kota besar atau di rute-rute pendakian, orang-orangnya kebanyakan sudah bisa bahasa Inggris meskipun pasif, Mbak Fanny.

  7. Membaca postingan ini membuat saya ingin mencari tempat untuk staycation yang sunyi senyap dan banyak pepohonannya.
    Paling jauh pasti ke Bogor atau Bandung deh, bagaikan remahan rempeyek sama lokasi perjalanan di postingan ini hahahaha

  8. membaca catper ini sepertinya jalur Tikedhunga – Uleri terasa ringan.. padahal dulu waktu ngalami berasa sebentar-sebentar berhenti karena tanjakan tiada henti hahaha.. belum lagi kalau badan capek, rehat sambil duduk di batu, ketempelan pacet hahahaha.. nasib memang trekking ke ABC waktu musim hujan hahaha

    1. Nanjak pas monsoon kayaknya bener-bener berat, ya, Mas Wid? Aku lihat di video-videonya Mas Widi, aliran sungai kecil jadi banyak banget sepanjang jalur. 😀

Tinggalkan Balasan ke morishige Batalkan balasan