Sialan! Hampir saja saya jatuh. Saya tak menyangka tetesan air dari keran itu bisa sedemikian lunyu ketika membeku di permukaan. Meskipun tak punya termometer, saya bisa merasakan bahwa sore ini dingin. Seperti sedang dalam kulkas rasanya. Annapurna Base Camp adalah dasarnya sementara pilar-pilar penyangga dunia menjadi dinding-dindingnya.
Akhirnya waktu pun membuat Annapurna menjadi nyata. Jika ingatan saya tak keliru, kata ‘Annapurna’ pertama kali saya baca sekira 2005, di sampul terjemahan Annapurna karangan Arlene Blum. Blum adalah pemimpin tim American Women’s Himalayan Expedition, grup pendaki-perempuan pertama yang pada tahun 1978 silam berhasil menggapai pucuk Annapurna I. Waktu itu saya masih SMA dan mulai senang membaca buku-buku petualangan—meskipun belum pernah mendaki gunung. Bagi telinga mungil saya nama Annapurna terdengar kalah mentereng dibandingkan Everest, atap dunia. Saya lebih tertarik untuk menghafal alias-alias Everest—Sagarmatha, Qomolungma—dan Annapurna hanya mengendap di relung-relung gelap memori.
Lalu sekitar 2013 Annapurna kembali menemukan saya. Ia teronggok lesu di salah satu cabang Togamas di Bandung, sudah agak berdebu sebab terlalu lama diacuhkan pengunjung toko buku itu. Karena ada potongan harga yang lumayan, tentu saja saya ambil. Saya mulai membacanya di gerbong kereta ekonomi dalam perjalanan pulang ke Jogja. Di Jogja, buku itu terlupakan, terparkir manis di rak sampai berdebu. Baru di ujung 2014 saya ambil buku itu dari rak, saya tiup debunya, lalu saya bawa mengembara ke Bali. Tapi saya tak menduga bahwa buku itu terlalu ‘gelap’ untuk dibawa bertualang. Kesenangan-kesenangan saya hilang begitu mendapati bahwa 2 dari 13 anggota ekspedisi perempuan 1978 itu harus kehilangan nyawa di tebing Annapurna I. Saya masih ingat nuansa kelabu yang mengambang selepas membaca halaman terakhir memoar itu di sebuah ruko di Denpasar.
Annapurna juga sampai ke telinga saya lewat kawan-kawan. Sekitar 2013-2014, saat sering menemani saya naik gunung, Benny ‘My Lord’ berkali-kali bercerita soal trek ABC, trek Annapurna Base Camp. Mas Widhi Bek, kawan yang sudah wara-wiri bertahun-tahun memotret lanskap pegunungan dan bawah laut, juga pernah berkisah soal perjalanannya menelusuri trek ABC di musim monsun. Di bulan-bulan monsun, trek ABC ternyata sama hijaunya dengan jalur Merbabu musim hujan. Ketika merencanakan perjalanan ini, saya banyak belajar dari catatan Mas Widhi. Setidaknya, saya tidak mengulangi kealpaannya mempertimbangkan musim yang baik untuk bertualang di Himalaya.

“Mari berfoto,” ujar seorang pria empat puluhan, berparas Asia Selatan, bertopi rimba warna hitam. Ia mengajak D, E, dan saya berfoto bersama. Kami sedang berdiri di sebuah pelataran beralas semen—tampaknya helipad. Dari sini kami bisa bebas memandangi Machhapuchhre di selatan, Annapurna I di utara, dan puncak-puncak lain yang berkerumun di sekitar mereka. Biru langit masih tertutup awan kelabu yang menggantung di sekitar puncak-puncak tinggi. Cahaya hanya masuk lewat lembah raksasa yang mengalirkan lelehan gletser. Cahaya nostalgia. Kami berempat pun berdiri membelakangi Machhapuchhre. Bahu-bahu dirangkul tangan, jempol-jempol terhunus, senyum-senyum melengkung, kenangan tersimpan.
Ezek menepati janjinya untuk menyeduh mate di Annapurna Base Camp. Kami menyeruput minuman panas itu bergantian. Pasti menyenangkan sekali jika suatu saat bisa minum mate di Pegunungan Andes. Ah, ada yang lupa! Tadi kami tak sempat menyanyikan refrain ‘We Are the Champions’ setiba di plang Annapurna Base Camp.
Mate itu cepat habis. Kami menghangatkan badan dengan berjalan kaki ke arah para pendaki yang berkerumun di bibir jurang jauh di sana. Dari jalan semen kami menuju setapak tanah luas. Tumpukan-tumpukan es bertebaran di antara ilalang dan bebatuan. Di ujung sana berdiri sebuah tenda Salewa mungil. Siapa pun yang menginap di sana pasti akan kedinginan nanti malam. Mendekati bibir jurang, setapak semakin mengecil. Kini saya mesti melangkah di jalur sempit berbatu. Bendera warna-warni berkibar-kibar mendaraskan doa. Tali-talinya terbentang ke segala penjuru dan menyatu di sebuah cairn berpucuk stupa.
Setelah tanjakan lumayan terjal, setapak itu berakhir. Saya mendadak limbung melihat lanskap yang terasa infinit. Otak saya rasanya mesti bekerja keras untuk mencerna pemandangan yang baru pertama kali saya lihat itu. Lembah itu begitu dalam. Di utara, lembah itu berakhir di gletser putih di lereng Annapurna I.
Tak tahan dengan pemandangan itu, saya alihkan mata ke tempat lain. Struktur yang semula saya kira cairn itu ternyata sebuah memoriam. Dan itu adalah memoriam dari seorang petualang yang kisahnya pernah saya baca: Anatoli Boukreev. Boukreev barangkali adalah sosok paling heroik dalam tragedi Everest 1996, sebab ia berhasil menyelamatkan tiga pendaki yang terjebak badai salju di tebing Sagarmatha.
Ezek kembali menyeduh mate. D si Anak Kota memotret-motret dengan ponselnya. Saya terpaku pada prasasti di momoriam Boukreev.
Boukreev tewas karena avalans di tebing Annapurna 1 pada hari Natal 1997. Umurnya masih 39 tahun kala itu. Berarti—belakangan saya tahu—ia meninggal tak lama setelah menyelesaikan tugasnya sebagai pelatih tim pendakian Everest Indonesia 1997. Prasasti memoriamnya sudah pudar. Di undakan-undakan sempit di bawah prasasti itu teronggok foto-foto dan memorabilia entah apa. Barangkali dari kawan-kawannya, orang-orang yang pernah bertualang dengannya, entahlah. Saya keluarkan sebatang rokok lalu saya letakkan di memoriam Boukreev.
“Siapa tu, Jo?” D si Anak kota ternyata sudah di sebelah saya.
“Salah satu pendaki yang selamat pas tragedi Everest,” jawab saya muram.
Khukri hangat di suhu minus tiga derajat
Suhu turun secara eksponensial. Kami bertiga kembali ke arah penginapan. Di pelataran barat restoran, beberapa orang berkumpul menikmati sore. Ada yang duduk di kursi namun sebagian besar berdiri. Mega mendung masih menggantung di langit sekitar Machhapuchhre. Namun, pelan-pelan, cahaya mengubah warna puncak suci itu menjadi semakin keemasan. Semakin keemasan Machhapuchhre semakin banyak pula orang yang berkumpul di pelataran itu.
Sekitar tahun ketiga kuliah dulu, satu dekade lalu, saya pernah mengunduh sebuah latar-belakang Windows edisi peringatan 50 tahun pendakian Everest. Yang paling saya suka dari latar-belakang itu adalah ketika warna Everest berubah menjadi keemasan di pergantian hari, ketika matahari terbit dan terbenam. Saya sepuluh tahun yang lalu pasti tak pernah menyangka bahwa ia akan bisa melihat pemandangan itu secara langsung di Himalaya.

Samar-samar di antara kerumunan itu saya mendengar beberapa orang bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia. Sumber suara itu adalah seorang laki-laki agak gempal, hampir sama tinggi dengan saya, dan seorang perempuan yang memakai jaket bulu angsa. Perawakan laki-laki itu mengingatkan saya pada penampilan senior-senior di sekretariat mahasiswa pencinta alam. Rupanya mereka tidak cuma berdua. Mereka pergi bersama sekitar sepuluh orang Indonesia lain. Sebentar saja kami sudah berkenalan dan asyik bertukar cerita soal perjalanan.
“Gila!” ujar sang laki-laki dengan logat Betawi. Namanya T. Saya memanggilnya Bang T karena ia lebih tua dari saya. “Di depan rumah ada pohon ganja.”
Ia membuka ponselnya lalu memamerkan fotonya bersama beberapa pot ganja. Jelas ia kaget mendengar cerita Ezek dan saya saat kami membeli sebungkus ganja kering dengan harga cuma beberapa dolar di antara Tadapani dan Chhomrong.
“Nggak bisa, nih, kayak gini di Indonesia,” ujarnya. D si Anak Kota dan saya sontak terbahak.
Bang T lalu bilang bahwa tadi ia bertemu seorang Indonesia yang hendak mendaki dua puncak di area Annapurna Base Camp. Saat makan malam nanti barangkali ia akan muncul dan kami bisa mendengarkan ceritanya.
Pertunjukan cahaya Machhapuchhre berlanjut. Kian lama warna kian pekat. Nuansa keemasan berganti jingga, lalu indigo, kemudian gelap.
—
Suara obrolan dalam berbagai bahasa menyambut kedatangan kami di restoran. Itu adalah restoran paling luas yang pernah saya lihat sepanjang trek Annapurna Base Camp. Meja panjang membujur dari barat ke timur. Di ujung barat, sebuah meja yang lebih kecil membentang dari utara ke selatan memenuhi sisi lebar ruangan. Dekat jendela, di utara dan selatan, pemilik rumah teh itu menempatkan lincak. Di siang hari, dari lincak di sisi selatan, Machhapuchhre kelihatan.
Bang T dan pasangannya sudah di restoran. Ia menyapa kami bertiga dengan gembira lalu membawa kami ke pendaki Indonesia yang ia ceritakan tadi sore.
Pendaki itu sedang makan sambil berbincang dengan orang-orang di kanan-kirinya. Ia tampak gembira bertemu kami. Namanya R, orang Jakarta. Umurnya barangkali tak beda jauh dari saya. Ia sempat lama bekerja di industri perminyakan. Entah di mana ia tak bercerita. Dan kami pun tidak bertanya terlalu jauh soal latar belakang. Kalau sering melancong, kau pasti paham bahwa para pejalan biasanya memang tak begitu peduli dengan latar belakang.

Usai makan, R bertanya, “Sudah pernah coba Khukri?”
Saya kira ia bertanya soal rokok Khukuri. Rupanya bukan. Yang ia maksud adalah sebuah merk rum lokal Nepal.
R mengajak kami berempat keluar dari restoran, ke sebuah meja biru di pekarangan. Saya menggigil menahan dingin.
“Wah, sudah minus tiga derajat,” ujar R sambil melihat jamnya. Baru sekitar jam setengah tujuh tapi suhu sudah minus tiga derajat Celsius! Sebelum ini, saya baru pernah merasakan berada di tempat bersuhu tiga derajat Celsius: Alun-alun Mandalawangi musim kemarau. “Nanti dini hari mungkin bisa minus sepuluh,” lanjutnya.
“Ini agak keras,” ujar R. “Jadi baiknya diencerkan.”
Sambil menunggu pesanan air panas, kami mengobrol. R mendengar cerita pertemuan kami—saya bertemu Ezek di Bandara Tribhuvan; Ezek dan saya berkenalan dengan D di Himalaya Hotel; dan perkenalan kasual kami dengan Bang T. Sementara itu R bercerita bahwa besok ia akan memulai perjalanan ke Tharpu Chuli, sebuah puncak di sisi timur lembah.

Air panas itu tiba dan R mulai menuangkan rum. Lalu kami pun bersulang dan suara denting gelas membumbung ke langit. Hangat menjalar ke dalam tubuh saya yang dibalut jaket penahan angin dan jaket bulu angsa. Meskipun sudah diencerken, rum itu rasanya masih menyabet tenggorokan. Saya terkekeh menyadari betapa cerdasnya orang yang memberi nama Khukri bagi rum ini—khukri adalah golok tradisional Nepal.
Sambil menandaskan isi gelas, R bertanya soal rencana kami setelah Annapurna Base Camp. D si Anak Kota hanya punya libur sekitar seminggu. Besok ia akan turun, istirahat sehari di Kathmandu, lalu pulang ke Jakarta. Ezek dan saya akan bertahan di Annapurna Base Camp selama dua malam—dari semula kami memang sudah merencanakan demikian. Ezek lalu bercerita soal rencananya mencari rumah sewaan di pelosok Nepal, di mana ia akan konsentrasi bikin liontin. Ia memang perlu bikin lebih banyak liontin lagi untuk membiayai petualangan-petualangannya selanjutnya. Saya sendiri berencana akan ke Lumbini setelah memulihkan badan selama beberapa hari di Pokhara.
Tapi rencana R-lah yang bikin jiwa kembara saya menyala-nyala. “Saya rencananya mau turing naik Royal Enfield,” ujarnya. “Ikut?”
Malam di Annapurna Base Camp
R mesti bergegas tidur sebab esok pagi ia akan memulai perjalanan ke Tharpu Chuli. Gelap sudah pekat. Karena tak punya jam tangan—dan ponsel saya di ransel—saya menyangka ini sudah jam 9 atau jam 10. Rupanya sekarang baru beberapa menit lewat dari jam 7 malam.
Kamar kami terasa jauh lebih dingin dari siang tadi. Saya tak tahan lagi untuk tidak memasang long john. Seingat saya, selama di Annapurna Base Camp, baru sekali saya memakai long john, yakni ketika di Himalaya Hotel. Saya kuatkan tekad untuk menahan dingin sebentar demi memasang pakaian penghangat itu. Untuk memakai long john, tentu saja saya mesti melepas jaket penahan angin, jaket bulu angsa, flanel, dan baju kaus yang baunya sudah seperti neraka itu. Saya pun membongkar keril untuk mengambil long john. Setelah semuanya siap, saya tahan napas dalam-dalam lalu saya lepas pakaian satu per satu. Begitu baju kaus lepas, saya bisa merasakan dingin menyergap. Tapi tak lama. Begitu long john terpasang, kulit saya langsung menangkap rasa hangat. Bergegas saya pasang kembali semuanya.
Saya terkekeh ketika D si Anak Kota mengeluarkan satu pak Tolak Angin. Absurd sekali rasanya mendapati Tolak Angin di kaki Annapurna. Biasanya saya tak suka minum Tolak Angin—bahkan saat mendaki gunung. Terlalu menyengat. Tapi malam itu entah kenapa saya menerima saja tawaran Tolak Angin dari D. Nyonya pasti tertawa melihat saya. Selama ini saya selalu mecucu melihat dia minum Tolak Angin. “Mending minum air panas,” saya sering bilang begitu padanya.
Kemudian pintu kamar kami diketuk. Ketika pintu dibuka, yang tampak adalah Bang T. Badannya dibalut jaket tebal dan tangannya bersedekap. Ia nyengir. D si Anak Kota mempersilakannya masuk. Ternyata ia mau mencoba lintingan mariyuana dan hasis.
Ezek nyengir lalu membuka buntalan harta karunnya. Sebentar saja kamar itu sudah penuh dengan tawa.
Begitu satu lintingan habis, Bang T pamit.
Malam makin dingin. D masih sibuk menyaring air yang diambilnya dari keran dan memasukkannya ke botol minum. Sementara itu saya bersiap untuk tidur. Sekarang badan saya sudah diselimuti berhelai-helai kain. Yang saya pakai malam itu: celana dalam, long john, baju kaus, flannel, jaket bulu angsa, celana panjang, kaus kaki tiga lapis, sarung tangan, dan kupluk merah. Meskipun sudah dibalut kain setebal itu, saya masih saja merasa sedikit dingin. Setiap kali bernapas, hidung saya mengeluarkan embun tebal seperti asap rokok elektrik.
“Masih dingin?” tanya Ezek. Ia terkekeh. “Itu di pojokan ada tumpukan selimut tebal. Ambil saja satu lagi.”
Tentu saja saya ambil. Baru kali ini saya tidur dengan selimut lapis dua.
Mungkin karena terlalu dingin, dini hari saya terbangun karena kebelet kencing. Air kamar mandi sedingin air botol mineral yang terlalu lama disimpan dalam lemari pendingin. Keluar dari kamar mandi, saya sempatkan berjalan ke ujung koridor untuk melihat langit. Langit bersih. Meskipun bulan bersinar terang, gemintang tetap kelap-kelip di atas siluet pegunungan.
Setelah itu saya tidur nyenyak. Saya bangun saat langit sudah agak terang. Tapi matahari belum kelihatan. Ketika saya keluar kamar, sudah banyak orang menantikan matahari terbit.
Di samping bangunan di utara sana teronggok butiran-butiran es yang membujur sepanjang dinding. Menginjak hamparan es itu rasanya seperti menginjak es serut. Suaranya renyah. Saya tersenyum-senyum dan D terkekeh melihat tingkah saya yang norak. Tentu saja saya minta difoto. Maka terabadikanlah momen itu. Saya, dengan muka gembira, berdiri di atas onggokan salju. Kupluk merah pemberian orangtua almarhum junior di organisasi pencinta alam menyelimuti kepala saya; jaket bulu angsa bekas yang saya beli bulan puasa beberapa tahun lalu membalut badan saya; celana kargo bertuliskan Rinjani di saku melindungi kaki saya dari dingin; syal Nyonya membuat leher saya jadi hangat.
Usai menyambut sang surya, D si Anak Kota mengajak saya ke plang selamat datang di bawah sana. Setiba di sana, D mengeluarkan bendera lalu memasangnya di trekking pole. Saya jadi fotografer. Sampai letih ia membujuk, saya tak mau difoto dengan bendera.
Makin siang, Annapurna Base Camp makin sepi. R sudah berangkat menuju Tharpu Chuli. Kami pun akhirnya mesti mengucapkan selamat tinggal ke Bang T dan kawan-kawan Indonesia lain. Istri Bang T tadi pagi sudah turun lebih dulu naik helikopter, sebab ia merasa tak enak badan.
D juga akan turun hari itu. Sebelum turun, kami duduk-duduk dulu sambil menyeruput teh susu di restoran. Di sana kami berkenalan dengan Lukman dan kawan-kawannya dari Malaysia. Kalau tidak salah, D turun bersama rombongan Lukman.

Setelah kawan-kawan turun, awak penginapan menghampiri kami. Barangkali karena isi kamar itu tinggal dua—terlalu besar bagi kami—ia memindahkan kami ke kamar yang lebih kecil di samping dapur. Hanya ada dua tempat tidur di sana. Dan—oh, Tuhan—pemandangan di balik jendela besarnya itu… Ada satu orang lagi di kamar itu. Tapi entah kenapa ia akhirnya pindah. Mungkin karena kami bau. Tapi siapa yang tak bau di Annapurna Base Camp?
Keheningan bikin bosan. Tak terasa saya pun tertidur. Begitu bangun, sinar matahari sudah tak lagi garang. Sudah agak sore. Ezek dan saya berjalan ke arah memoriam Anatoli Boukreev. Ternyata di sekitar sana masih banyak memoriam pendaki lain, paling banyak dari Korea Selatan.

Kemudian saya mengeluarkan kaleng rokok Surya. Tinggal dua batang. Saya sudah bertekad untuk menghabiskan dua batang terakhir itu di Annapurna Base Camp. Satu untuk saya, satu untuk Ezek. Ia terkekeh menerima rokok itu. Lalu kami pun merokok di pinggir jurang sambil melihat Annapurna I dan puncak-puncak lain yang mengawalnya. Suara gemeretak dari gletser terdengar berkali-kali.
Makin sore, Machhapuchhre makin mengoranye. Beberapa potong awan mengambang di sekitarnya. Dingin mulai meraja di hari ketujuh petualangan kami di trek Annapurna. Bendera-bendera doa berkibar-kibar.
Besok kami akan turun. Tapi, malam ini sekali lagi kami mesti menghadapi dingin yang membekukan.
Waaaah… tulisan annapurnanya muncul lagi setelah sekian lama, atau saya yang gak update? Happy sekali bacanya…. enak banget ya bisa 2 hari di abc, cita-cita banget… Saya yang kurang dr 1 jam aja seneng banget apalagi 2 hari. One day deh, pelan2 nyoba lagi (kalo masih ada umur dan masih kuat hahaha)
Memang setahun ini saya tidak mengisi blog, Mbak. 😀 Saya lihat di cerita-cerita perjalanan ke ABC kebanyakan pejalan hanya mampir ke ABC dan menginap di Himalaya Hotel atau MBC. Menginap pun biasanya cuma semalam. Monggo, Mbak, kalau ada kesempatan dicoba menginap di ABC. 🙂
Kembali menyenangkan bisa membaca tulisan-tulisanmu mas, selamat tahun baru 2023
Terima kasih, Mas Sitam. Selamat tahun baru juga. 🙂
Akhirnya balik lagi mas. 2 hari di annapurna seperti bakal lebih berasa yaa? Di bbrapa video aku melihat orang hanya sehari berada di annapurna.
Aku baca bberapa artikel tentang boukreev. Ikut bersedih dengan apa yang menimpanya.
Selalu terbius kalo baca cerita abang. Rasanya ikut berpetualang ke sana. Dan harapannya sih semoga bisa beneran ke sana.
mas Morish apa kabar, wahhhh akhirnya muncul lagi, senengg
aku masih inget nama temen temennya, Ezek hehehe
ini viewnya keren parah, apalagi pas foto yang muncul warna oranye itu, cakepp
setiap baca cerita mas Morish soal annapurna, lagi lagi aku kembali mikir, sanggup nggak ya buat naik ke atas, mungkin kalaupun ga sanggup sampai atas, sampe tengah tengah juga gak apa apa hahaha, bisa ngeliat gunung diselimuti salju gini aja udah seneng
jadi inget film di netflix tentang gunung
pemandangannya bagus
Halo Mas apa kabar?
Ah sudah lama saya tidak berkunjung ke blog menarik ini. Hampir 2 tahun juga saya absen ngeblog… Sekarang bikin blog lagi yg lebih ke tulisan pendek…
Yg ini Mas…”Menginjak hamparan es itu rasanya seperti menginjak es serut…” hehehe jadi selama perjalanan tetap ingat es khas negeri kita yaa…
Salam sehat selalu Mas.