Himalaya Hotel Kamar Nomor 3

Pagi merambat pelan di Himalaya. Hutan dan ladang di sekitar Chhomrong sudah hijau, tapi Lower Sinuwa masih biru. Di atas, sirip Machhapuchhre yang warnanya seperti bulan purnama sudah tampak bersinar. Gunung suci itu masih setia menyangga langit.

Di pekarangan Sherpa Guest House, para petualang menikmati sarapan di meja-meja panjang. Kami sudah selesai sarapan. Pagi itu kami makan di luar, sebab restoran Sherpa Guest House penuh. Sebagaimana semalam, tak ada dal bhat pagi itu. Pemuda-pemuda pengelola penginapan itu tampaknya lebih suka menggoreng chowmein ketimbang meracik dal.

Menjelang pukul sembilan kami mulai menapaki anak-anak tangga terjal menuju Upper Sinuwa. Saya berhenti sebentar di warung kecil di pertengahan tanjakan untuk membeli rokok Khukuri yang dijual dua kali lipat lebih mahal ketimbang di kota. Stok Pilot saya sudah habis, Surya juga sudah mulai menipis. Ah, kenapa saya tak bawa rokok lebih banyak dari Jogja?

Sherpa Guest House, Lower Sinuwa
Trek menuju Upper Sinuwa

Sudah hari kelima. Tubuh saya sudah mulai terbiasa dengan medan Himalaya. Tanjakan-tanjakan terjal tak lagi bikin lutut saya gemetar. Napas saya juga sudah tak lagi kelabakan. Barangkali saya sudah menemukan harmoni dengan sekitar. Barangkali. Entahlah. Yang jelas lemak ekstra dalam tubuh saya sudah menguap ke angkasa—mungkin kini sudah jadi awan, atau bahkan sudah kembali turun ke bumi sebagai kepingan salju atau tetesan hujan. Pipi saya mulai tirus, lingkar pinggang mengecil jauh. Ujung sabuk yang saya pakai sudah bisa ditarik sampai ke belakang. Kalau tak dibebat gesper, celana kargo biru dongker yang saya pakai mestilah sudah melorot dari pinggang.

Kaki saya mengayun santai mengikuti setiap belokan, meninggalkan kepulan debu. Sesekali sol sepatu saya beradu dengan jembatan logam. Seperti hari-hari kemarin, saya lebih sering berjalan di belakang. Ezek sesekali bernyanyi sembari mengangkat kedua tangannya ke udara. Pikirannya barangkali sudah di Annapurna Base Camp, sebab ia sudah mulai menyenandungkan refrein ‘We Are the Champions’. Tapi Annapurna Base Camp masih jauh. Hari itu rencananya kami hanya akan berjalan sampai Himalaya Hotel, tentu setelah melewati Bamboo dan Dovan.

Sejak pertigaan Chhomrong, trek yang kami susuri adalah setapak kecil yang meliuk-liuk di pinggir lembah raksasa. Ketimbang jalur Nayapul-Lower Sinuwa, lanskap etape pasca-Lower Sinuwa lebih monoton. Parak dan ladang sudah tak kelihatan. Kera-kera ekor panjang berkeliaran di pohon. Sekali waktu kami mesti berhenti sejenak menunggu mereka selesai tawuran. Kini sepanjang perjalanan yang saya lihat adalah puncak-puncak pegunungan yang berbaris seperti sedang upacara bendera. Pemimpin upacaranya siapa lagi kalau bukan Machhapuchhre. Gangapurna melendot di sampingnya seperti komandan peleton. Di seberang mereka, Annapurna South tampak berwibawa seperti pembina.

Machhapuchhre (kanan) dan Gangapurna (kiri)

Helikopter melintas setidaknya sekali dalam dua jam. Rombongan keledai tak lagi kelihatan. Saya lebih sering melihat manusia, entah pelancong entah pemandu atau pramuantar, dan jadi lebih sering mengucapkan namaste. Lama-lama saya menyadari sesuatu. Sebagian orang Nepal yang saya sapa menatap saya dengan ganjil seolah-olah berkata, “Ini orang kenapa repot-repot basa-basi ngomong ‘namaste’?”

“Bung! Jangan-jangan mereka mengira aku pemandumu?” tanya saya pada Ezek ketika kami istirahat di sebuah lahan terbuka di pinggir lembah yang menganga.

Ia terkekeh. “Mungkin,” katanya.

Ezek memang lebih necis. Ia pakai topi pet ala pelukis. Matanya ditutupi reben. Ditambah lagi kulitnya terang. Bagi orang Nepal, ia asing. Sementara saya, baik dari perawakan maupun penampilan, tak jauh beda dari mereka. Barangkali, memang, selama masih di Asia, susah bagi saya untuk benar-benar merasakan menjadi asing. Bagaimana saya bisa merasa asing jika kami sebenarnya berasal dari akar yang sama?

Bamboo

Kami tiba di tangga batu yang menurun terjal. Lalu rumpun-rumpun bambu kerdil mulai tampak di pinggir jalur. Kanopi pepohonan semakin tinggi dan jalur kian teduh. Lalu saya melihat plang. Kami sudah tiba di Bamboo.

“Akhirnya,” ujar saya. Tiga pendaki Nepal yang berkumpul di sekitar plang tersenyum mendengar itu.

Kami berjalan melewati penginapan bernama Buddha Guest House, melewati permukiman, lalu kembali masuk ke jalur diapit bambu kerdil. Sudah tengah hari dan kami sudah lapar. Di sebuah jalan teduh nan landai kami menemukan tanah terbuka kecil dan makan siang di sana.

Menu makan siang kami masih saja kacang-kacangan dan makanan kaleng. Usai makan, saya membasuh kerongkongan dengan air yang tadi saya ambil di air terjun kecil di pinggir jalur. Air Himalaya segar sekali.

Setelah makan siang, pemandangan semakin terbuka. Jalur berdebu dan di sana-sini daun-daun seperti maple terkulai di tanah. Beberapa kali kami melintasi air terjun kecil dan anak sungai. Kami melewati Dovan yang terang, lalu melangkah di setapak yang dari sana kami bisa melihat warna musim gugur. Pohon-pohon berdaun cokelat muda berkumpul di antara pohon-pohon yang daunnya masih hijau. Di balik pegunungan hijau, pegunungan batu yang botak mulai tampak. Machhapucchre yang berselimut salju masih di sana. Angin yang menyapu puncaknya meniup lapisan es yang kemudian diuapkan ke semesta oleh panas matahari.

Puncak Machhapuchhre
Himalaya Hotel

Lalu kami tiba di percabangan jalan: satu tanjakan batu ke atas, satu jalan tanah kecil melipir jurang. Keduanya teduh. Rasa penasaran menuntun kami pada yang kedua. Ternyata ujungnya sama saja. Kami pun kembali ke pinggir lembah. Matahari bersinar terik tapi hawa dingin dan kering. Pemandangan begini bikin saya ingat film lawas yang diadaptasi dari novela Rudyard Kipling, The Man Who Would Be King. Di ujung jalan itu, kami berhenti di sebuah tebing raksasa yang bagian bawahnya tercongkel membentuk kanopi. Teduh. Banyak yang istirahat di sana. Dari sana saya melihat sebuah permukiman yang menyempil di lembah. Barangkali itu Himalaya Hotel.

Itu memang Himalaya Hotel.

Di setapak lebar menjelang losmen itu, seekor anjing hitam menanti. Ia lalu berlari-lari kecil seperti memandu kami ke penginapan itu. Lewat pintu samping saya masuk ke restoran dan menghampiri dapur. Pemuda-pemuda Nepal sibuk memasak. Para pelancong duduk mengobrol di meja.

Dari balik jendela panjang dapur yang tak berkaca, seorang pemuda menyambut kami dan bertanya apakah kami mencari kamar. Karena kami tiba cukup awal, masih banyak kamar kosong. Ia mempersilakan kami menempati kamar nomor 3.

Di depan kamar nomor 3

Masih jam tiga sore. Ezek dan saya duduk-duduk di kursi plastik depan kamar nomor 3. Camilan dan sisa makan siang terhidang di meja. Kami mengeluarkan Nescafe kotak yang tempo hari dibeli di Pokhara.

Matahari masih bersinar terik, tapi tetap saja dingin terasa. Barangkali karena sinarnya sebagian terhalangi oleh tembok. Untuk menghangatkan badan, saya berjalan ke arah pelataran yang lebih terbuka. Tapi saya cepat bosan. Lalu saya duduk di undakan batu dan membiarkan kulit saya menerima sinar matahari sebanyak-banyaknya.

Hangat.

Makin banyak pelancong yang datang dari arah Dovan. Beberapa menit setelah saya mulai berjemur di undakan itu, seorang pemuda tinggi kurus tiba dari bawah. Ia berjalan ke arah pintu samping restoran Himalaya Hotel. Tapi tampaknya ia masih ragu-ragu untuk masuk. Ia pun melihat ke arah saya dan berbasa-basi menyapa. Lalu ia berjalan ke arah undakan, menyandarkan ranselnya, kemudian duduk beberapa meter di samping saya.

Pelataran Himalaya Hotel

Are you from Indonesia?” ia bersuara tiba-tiba.

Saya kaget. Kenapa dia bisa tahu?

“Eh? Iya,” jawab saya. “Kok tau?”

“Itu,” jawabnya sambil menunjuk baju kaus saya, “ada tulisan Jogja.”

Saya terkekeh. Benar-benar saya tak sadar bahwa di baju saya ada tulisan Jogja. Maklum, itu baju pemberian seorang kawan. Dia dapat itu waktu ikut acara kumpul-kumpul sebuah komunitas kegiatan alam-bebas.

“Bung!” saya berteriak pada Ezek. “Orang Indonesia lagi!”

Ia anak Jakarta. D namanya. Tapi, barangkali karena ia agak tinggi dan penampilannya agak modis, tadi saya menduga ia entah dari Singapura atau Korea Selatan atau Jepang.

Saya mengajak D ke depan kamar nomor 3 dan kami bertiga bercakap-cakap santai. Obrolan bikin manusia cepat akrab. Sebentar saja obrolan kami sudah mengalir ke sana kemari. D semangat sekali bercerita soal petualangannya kemarin. “Di jalan aku ketemu cewek,” ujarnya pada saya dan Ezek. Setiba di Chhomrong, ia ditawari cewek itu bermalam di penginapan milik keluarganya. “Dikasih air panas lagi,” ujarnya. “Orang sini baik-baik.”

Peta jalur trek Annapurna Base Camp, Himalaya Hotel

Matahari makin condong, sementara D belum memesan kamar. Ezek dan saya menawari D untuk berbagi kamar. Lalu saya menemani D ke restoran dan bertanya ke pemuda yang berjaga apakah D bisa menempati kamar yang sama dengan saya dan Ezek. Kamar kami cukup luas dan ada satu dipan yang lebih dari cukup untuk dua orang. Ternyata bisa.

Menjelang senja, ada seorang Indonesia lagi yang tiba di Himalaya Hotel. Namanya R dan ia baru turun dari Annapurna Base Camp. Ia bekerja di Medan, tapi asli Maninjau. Begitu ia bilang bahwa ia dari Maninjau, saya langsung menukar-kode ke bahasa Minang.

“Jadi kalian bicara bahasa yang beda sekarang?” tanya Ezek.

“Iya,” jawab saya. Lalu, untuk meledek D, saya melanjutkan, “Kalau si D, dia tinggal di kota. Jadi dia sepertinya cuma bisa bicara bahasa Indonesia. Dia anak kota.”

Ezek terkekeh dan D dapat julukan baru.

Enggak, ya,” ia membela diri dengan berkata bahwa salah satu dari kedua orangtuanya asli Jepara. Tapi kami tak peduli. Bagi kami, mulai saat itu ia Anak Kota.

Perjalanan R rupanya seru. Ia masuk Nepal lewat darat dari India. Barangkali karena letih setelah menempuh perjalanan panjang, di Annapurna Base Camp ia kena penyakit gunung akut. Kepalanya sering pusing dan pileknya tak kunjung sembuh. Saat hari mulai gelap, ia masuk ke kamarnya untuk istirahat.

Dari tadi ternyata Ezek menahan diri untuk tak melinting. Himalaya Hotel ramai dan aroma psikotropika itu pasti akan menarik perhatian. Juga, baru beberapa hari yang lalu cokelatnya disita polisi wisata.

“Yuk, cari tempat merokok,” ajaknya.

Kami bertiga berjalan naik, melewati bangunan penginapan yang baru setengah jadi, lalu mengikuti jalan setapak ke pinggir hutan. Agak jauh dari setapak besar, Ezek mengeluarkan tabak dan papir lalu mulai melinting.

“Itu ganja?” D bertanya dengan berbisik pada saya. Saya terkekeh saja mendengar pertanyaan itu.

Satu lintingan kami bagi bertiga. Habis, kami kembali ke Himalaya. Langkah saya lumayan ringan.

Kamar nomor 3 Himalaya Hotel

Ketika hari sudah gelap, kami memesan makan malam. R tampak makin kuyu—barangkali dia benar-benar perlu istirahat. Usai makan, ia kembali ke kamar dan meneruskan istirahatnya. Ezek, D, dan saya tetap di luar dan bicara entah apa.

Tiga pria Nepal yang tadi kami papas di Bamboo ternyata malam itu juga menginap di Himalaya Hotel. Mereka bergabung di meja kami dan kami bertukar cerita. Mereka ternyata dari Kathmandu. Saya tawarkan Surya pada mereka dan aroma manis kretek Indonesia pun menguar di malam dingin Himalaya.

Tapi malam larut terlalu cepat di pegunungan. Jam sembilan saja pelataran Himalaya Hotel dan restoran sudah lengang. Dingin memaksa manusia untuk segera berlindung di balik hangatnya selimut. Ketiga kawan baru kami itu pun pamit undur diri. Kami bertiga masih di luar menikmati dingin. Tak ada angin, sebab Himalaya Hotel dilindungi tebing tinggi di sisi barat.

Beberapa saat kemudian, salah seorang di antara pria Nepal itu keluar dan berjalan ke meja kami. Barangkali ada barangnya yang tertinggal. Tapi rupanya bukan itu alasannya.

Ia menghampiri saya sambil menyodorkan sebungkus Surya Nepal.

“Untukmu, Kawan,” ujarnya.

Saya terdiam sebentar. Lalu, dengan gagap, saya membalasnya: “Dhanyabad.

15 pemikiran pada “Himalaya Hotel Kamar Nomor 3

  1. Ajo, thanks for taking me on another great adventure. Now I have to look up that last word so I can feel like I am getting the complete story! 🙂

    Those skies were so blue and your photos should be in a book.

    Take care!

  2. Mungkin bang Morishige perlu pakai blangkon sama keris kalo naik Himalaya lagi, jadinya kalo bilang Namaste nanti tahu kalo Abang turis, kalo masih disangka pemandu, mungkin perlu ganti baju Ironman.😂

    Bang Morishige ketahuan dari Indonesia karena pakai baju Jogja, mungkin kalo pakai baju tulisannya Bali, disangka dari negara Bali kali ya.😆

    Alhamdulillah ketemu dengan orang Indonesia di Himalaya hotel, cuma kok pakai inisial doang, D, R, dan A. Kalo D dan R aku tidak tahu tapi kalo A yaitu Agus.😄

    1. Aku lgs ngakak baca komen mas Agus 🤣. Ga kebayang naik gunung pake blangkon wkwkwjwk. Tapi ada bebernya mas, sekaligus memperkenalkan Indonesia ke mata Himalaya :D.

      Seruuuu ah ceritanya.. banyak ketemu orang indonesia yaaa. Paling seneng kalo udh traveling jauh, tp masih ketemu sodara senegara 😀

  3. Himalaya Hotel jadi lebih luas, pas ke sana 2015 sepertinya masih belum ada pelataran yang ada di foto itu (maaf kalau salah ya.. soalnya nginget2 kayaknya dulu tempatnya rada sempit).. perjalanan mulai dari bamboo, tengah hari sudah berhenti di himayan hotel gara gara hujan deras ndak berhenti-berhenti.. setelah itu malam pada berdoa supaya besok pagi cerah biar bisa lanjut ke ABC, kalau masih terus hujan keputusannya balik soalnya jaluk menuju Deurali rawan longsor.

    1. Selalu menarik baca tulisan Mas.
      Jadi kebayang suasananya dan jadi tertarik buat ke sana.

      Ternyata banyak juga ya orang Indonesia yang melancong ke sana. Kayaknya saya harus jadi salah satunya nih.

  4. Seru ya ketemu sesama orang Indonesia di negeri orang, apalagi di Himalaya.
    Baca tulisan ini bikin aku kangen travelling ke luar negeri.
    Btw, makasih untuk gambar-gambar Himalaya-nya yang selallu cakep.

  5. Ketemu orang indonesia di dalam perjalanan di luar negeri itu kayak menemukan oase di tengah gurun. Melepas dahaga dan berasa tidak sendirian di negara orang..hehehehe

    Ga nyangka, ternyata dapat pengganti rokok karena telah berbagi rokok. Selamat mas 😀
    Belum pernah mencium aroma psikotropika, jafi ga bisa bayangin gimana aromanya, meskipun dihisap di luar ruangan.

  6. Sepertinya sudah jadi langganan para pendaki dari Indonesia ya.
    Tapi seru sih bisa ketemu dengan banyak orang Indonesia disana, serasa dunia jadi kecil. Hehehe.

    Btw, hebat dia bisa kenal Indonesia hanya dari kaos bertuliskan Jogja, soalnya nggak banyak yang kenal Jogja, turis biasanya taunya Bali.
    Tapi mungkin karena keseringan ada orang Indonesia menginap disana kali ya, jadi pernah dengar cerita soal Jogja 😅

  7. Di negeri jauh di awan, seorang perokok dihadiahi sebungkus rokok oleh orang tak dikenal, dan yang ikonik kampung halaman pula? . . . . (asyik pokoknya)

    Ngomong-ngomong, ‘cokelat’ itu istilah untuk apa ya? Kok sampai disita polisi segala?

  8. Baca ini makin rindu ke Himalaya.

    Seru ya kalo ketemu saudara sebangsa di negeri lain apalagi sama-sama di gunung. Kadang lidah jadi istirahat ngomong bhs asing dan balik bahasa ibu 😁😁😁

Tinggalkan komentar