Falang

Kepingan-kepingan tentang manusia dan peristiwa yang dicatat selama melawat ke beberapa negara di Asia Tenggara. Perjalanan dimulai tanggal 20 November 2018 dan berakhir 1 Januari 2019.


Epilog: Pulang

Hari ini, pada sebuah masa ketika dunia penuh makhluk renik mematikan dan semua orang mesti mengenakan masker saat pergi ke luar ruangan, saya selesaikan perjalanan ketiga.

Tahun Baru di Johor Bahru

Tak ada keramaian, tak ada kembang api. Tapi tak terbantahkan lagi bahwa itu adalah salah satu malam pergantian tahun yang akan selalu kami kenang.

Bras Basah Complex

Melihat saya menenteng buku kumpulan esai humor Jeremy Clarkson, ia berkomentar sambil tersenyum, “He is funny.”

Naik Bus dari Malaysia ke Singapura

Di dalam, tas-tas kami dirontgen mesin sinar-X. Nyonya lewat, saya dihentikan. Petugas perempuan yang memelototi jeroan tas gunung saya berkata bahwa ia melihat di dalam ransel besar itu ada gulungan kabel agak tebal.

Transit di Kuala Lumpur

Portal keluar stasiun itu tak bergerak. Padahal saya sudah memasukkan token biru itu. Saya coba lagi. Masih tetap tak bisa.

Georgetown

Matahari sudah bersembunyi di balik bukit ketika feri kami sandar di Terminal Feri Raja Tun Uda. Penyeberangan itu lumayan singkat, hanya sekitar 20-25 menit barangkali.

Perjalanan Panjang ke Penang

Jam 8 lewat seperempat barulah kereta 171 itu tiba di Stasiun Hat Yai, telat sekitar satu setengah jam. Perjalanan yang semestinya “hanya” 17 jam 45 menit molor jadi sekitar 19 jam!

Dua Malam di Bangkok

Beberapa menit melangkah dari mulut jalan kecil itu, Nyonya tiba-tiba bersuara sambil menunjuk ke arah kanan, “Nggak mau mampir?”

Bersepeda ke Angkor Wat

Nyonya mulai khawatir—dan berkeringat. Pertanyaan-pertanyaan seperti “Masih jauh, nggak?” “Berapa menit lagi?” “Nggak tanya ke orang aja?” dan variasi-variasi lainnya mulai dia tembakkan.

Naik Bus dari Bangkok ke Siem Reap

“Eh, di mana, ya, tadi?” Sambil merogoh-rogoh semua saku yang ada di celana kargo itu, saya bertanya pada diri sendiri. Tak ada gunanya memang. Ia bete.

Bus No. 49

Akhirnya kami naik bus no. 49. Ongkosnya jauh lebih murah ketimbang kombo bus no. 3 dan MRT, tapi waktu tempuhnya lumayan juga ternyata: 1,5 jam!

Sirkumnavigasi dan Bangkok

Stasiun Hua Lamphong masih saja memesona meskipun tidak gemerlap. Langit-langitnya yang tinggi membuat usaha ratusan lampu untuk menerangi malam menjadi sia-sia.

Menyeberang ke Thailand

“One hundred baht,” ujar seorang petugas gempal di balik loket yang mengurus dokumen saya. Kutipan apa lagi ini?

White River, Phnom Penh

“One dollar! One dollar!” ujar petugas perempuan berlogat Khmer dari balik meja panjang berpapan nama “Quarantine.”

Saigon

Saya coba pencet tombol daya. Tak ada respon. Mati. Laptop saya mati total.

Semalam di Dalat

Dingin sekali! Sebagaimana Sal Paradise yang menggigil di bak truk kala wara-wiri melintasi daratan Amerika Serikat, sebentar-sebentar badan saya gemetar merespons hawa dingin.

Perjalanan ke Dalat

Mendekati Dalat, lanskap berganti menjadi pegunungan hijau. Pinus-pinus runcing terhampar sejauh mata memandang, lalu kebun kopi mahaluas.

Rintik-rintik Hujan di Hoi An

“Kotanya terkepung banjir. Aku harus mencoba tujuh jalur (untuk) keluar dari kota itu sebelum menemukan yang pas,” ia berkisah.

Asbak Penguin Raksasa di Stasiun Da Nang

Sekitar jam 11 malam, seorang mirip Eddie Vedder bergabung bersama kami di sekitar asbak raksasa berbentuk penguin itu. Namanya P. Mendengar ia dari Australia, saya menyeletuk, “Ha! We’re neighbors!”

Tertahan di Da Nang

Dari sana, saya hanya perlu jalan lurus menelusuri Dien Bien Phu lalu menyerong ke kiri ke Jalan Le Duan yang ternyata sudah berubah menjadi sungai. Benar: sungai.

Meninggalkan Hue

“Kamu baru bayar dua malam, ‘kan?” ia bertanya dengan bahasa Inggris seadanya. Saya bingung ia bertanya demikian, sebab saya sudah membayar lunas tiga malam plus biaya penatu sekitar dua kilogram.

Naik Kereta dari Hanoi ke Hue

“Aku baru kenal dia pas di stasiun tadi,” jawab “Harry” atau entah siapa pun namanya. “Tiba-tiba saja dia datang terus bicara bahasa Inggris logat Australia.”

Hanoi, Bia Hơi, dan Hồ Tây

Semula saya kira danau itu bisa dikelilingi dalam waktu satu jam. Nyatanya, saya mesti menyisihkan sekitar dua setengah jam untuk menuntaskan satu putaran.

Menuju Hanoi

Bukannya tiba di stasiun kereta api, saya malah tiba di pos imigrasi Vietnam. Di seberang sana ada gapura beraksara China.

Fansipan

Ternyata susah sekali menyalakan korek di tempat seperti itu—ditambah lagi gas korek milik saya sudah menipis. Berkali-kali dicoba—bahkan dengan metode menyalakan korek gas ala pelaut—mancis itu tetap tak kuasa menyemburkan api.

Pagi Pertama di Sapa

Tak enak rasanya berkata begini: “Saya ingin sekali ke desa Mama Zu. Tapi saya memang tak ada rencana ke sana, sebab perjalanan saya masih jauh; saya mau pergi dari utara ke selatan Vietnam.”

Naik Bus Kecil dari Luang Prabang ke Điện Biên Phủ

Kemudian, salah seorang awak bis—yang ternyata adalah supir kedua yang kebagian tugas menyetir di daerah pegunungan—membakar sumbunya dan menghisapnya dengan santai. Aroma asapnya seolah-olah mengajak bersenang-senang. Positif—itu bong!

Hari-hari di Luang Prabang

“Kenapa anda selalu belajar setiap hari?” Pertanyaan itu keluar dari seorang staf Khammany yang setiap hari membuatkan saya sarapan. Sore hari ketiga di Luang Prabang kala itu.

Sleeper Bus dan Whiskey Lao Hangat di Luang Prabang

Ceritanya, suatu hari T dan B sedang menelusuri hutan menuju sebuah air terjun di Pulau Moyo. Mereka terpisah jarak yang lumayan jauh, sekitar sepuluh meter. B di depan, T di belakang. Saat asyik berjalan menikmati suasana, B mendengar abangnya berteriak memanggil-manggil.

Hari-hari di Vientiane

Senja sudah tiba dan Patuxay adalah siluet di depan latar jingga. Material bagus untuk kartu pos.

Menyeberang ke Laos

“Ini namanya kretek. Rokok Indonesia. Ada campuran cengkeh dalam tembakaunya,” antusias saya bercerita. “Ya. Aku pernah mencobanya,” ujarnya.