Bulir Salju

Pagi itu saya lihat langit sesendu lagu-lagu Ebiet G. Ade. Kabut menggelayut, sinar terhalang, angin lancang. Dari arah atas, suara mesin entah-apa meraung-raung. Para tukang sepertinya sudah mulai bekerja.

Lewat jam tujuh pagi kami sarapan di beranda restoran. R sudah agak sehat. Ia tampak tak sabar untuk segera melepaskan diri dari bekapan dingin abadi. Ia bilang ia sudah dapat teman jalan. Usai makan, kami duduk-duduk santai mengelilingi meja sembari menghabiskan sisa minuman. Tapi R tak bisa lama-lama. Kawannya sudah menunggu. Ia mesti segera kembali ke kamar dan mengemasi barang-barangnya. Ketika kami beranjak dari restoran, ia sudah siap untuk memulai perjalanan turun. Setelah mengucapkan selamat tinggal, ia berlalu ke arah bawah, menenteng kantung tidurnya yang terlampau besar bagi tas gunungnya.

Kami mulai berjalan sekitar jam delapan. Trek yang semula susunan batu rapi berubah menjadi setapak alami. Di hari keenam pendakian ini, jalan menanjak-menurun sudah tampak biasa di mata saya. Tapi hawa yang terlampau dingin ini tetap asing bagi tubuh saya yang tropis. Pagi ini pakaian saya lumayan tebal. Kaus oblong saya lapisi dengan flanel. Tak sanggup juga rasanya cuma memakai kaus oblong di pagi hari berawan di ketinggian lebih dari 2.900 meter di atas permukaan laut.

Baterai kamera saya sudah kembali penuh. Semalam saya mengisinya di dapur restoran. Tidak gratis, tentu saja. Tapi biayanya tidak mahal-mahal amat, hanya sebanding dengan harga satu-dua liter air panas. Menelusuri setapak menuju Annapurna Base Camp menggugurkan satu hal yang selama ini saya percaya: bahwa uang tak ada artinya di gunung.

Tidak di semua gunung uang menjadi tidak berharga.

Sesekali saya pencet rana untuk memotret dan mengambil klip video. Jalan makin berdebu dan pemandangan semakin terbuka. Air terjun turun deras di antara rekahan. Sesekali kami menyeberangi jembatan besi atau kayu yang membentang di atas aliran air. Tebing menjulang dengan perlapisan batuan yang miring. Semasa kuliah, setiap kali ekskursi, saya selalu senang melihat singkapan-singkapan seperti itu dan menerka-nerka seperti apa bentukan permukaan di area itu jutaan tahun yang lalu.

D si Anak Kota bikin perjalanan terasa lebih ramai ketimbang kemarin-kemarin. Dengan ringan ia melangkah di antara Ezek dan saya, seperti anak bungsu yang gembira menghabiskan liburan bersama kakak-kakaknya.

Gunung selalu cepat membuat orang-orang menjadi akrab.

Kurang dari satu jam kami tiba di Deurali. Langit masih kelabu dan angin masih kencang. Kami melepaskan ransel dan istirahat di depan sebuah restoran. Saya membakar rokok, sementara Ezek dan D asyik mengobrol dengan sekelompok pendaki Nepal yang juga sedang berjalan menuju Annapurna Base Camp. Kalau dilihat-lihat, tampang saya memang mirip dengan mereka. Seandainya kami berjalan bersama, mestilah takkan ada yang menduga bahwa saya alien dari Indonesia.

Selepas Deurali, kami meliuk-liuk di punggungan. Lalu saya melihat sebuah plang: “Avalanche Risk Area”. Tapi saya tidak khawatir. Ini masih akhir musim gugur dan lembah masih belum ditutupi salju. Avalans—longsoran salju—tentu hanya akan terjadi jika ada… salju.

Lalu kami turun ke lembah terbuka. Ramai. Beberapa kali kami berpapasan dengan pelancong dan bertukar namaste. Puncak-puncak tinggi mengapit lembah itu di kedua sisi. Sungai penuh batu mengalir di sebelah timur dan suara jeramnya menggema abadi di tebing-tebing tinggi. Pertengahan November begini, lembah itu cokelat dilapisi rumput dan ilalang yang meranggas.

Di ujung lembah terbuka itu, dari kejauhan saya melihat sebuah bentukan seperti gua. Di sisi atasnya, bendera doa melintang memberi warna. Setelah dekat, barulah saya sadar bahwa itu bukan gua, tapi gletser kecil yang tersamarkan oleh serpihan ilalang.

D tertawa-tawa melihat saya terkesima dengan gletser itu. “Norak,” kata si Anak Kota sambil terkekeh. Tapi, rasanya wajar jika saya norak. Ketika kuliah saya sering mendengar cerita tentang gletser dari dosen. Dan baru sekarang saya melihatnya langsung dengan mata kepala sendiri.

>Gletser kecil antara Deurali dan Machhapuchhre Base Camp

Sudah tengah hari dan kami semakin tinggi. Jalan makin menanjak. Kini jalur menjadi semiring trek antara Pos 3 dan puncak Gunung Sindoro. Debunya seperti di Gunung Merbabu di puncak musim kemarau. Ketika sedang terengah-engah melewati setapak terjal itu, saya mendengar si Anak Kota berteriak dari atas: “Ada orang Indonesia lagi!” Bukan satu orang, tapi serombongan. Jumlah mereka lebih banyak ketimbang grup Barok dan Luki.

Tanpa saya sadari, kami sudah tak lagi berjalan di jalur sempit berdebu yang paralel dengan bibir jurang. Vegetasi sudah berubah. Pohon-pohon tinggi sudah tak tampak lagi. Di ketinggian segini hanya ilalang dan perdu keras kepala yang sudi tumbuh. Rasanya seperti berjalan di Pasar Dieng, Gunung Lawu, di puncak musim kemarau. Zona pandang semakin terbuka. Machhapuchhre tampak makin dekat. Sesekali kami berhenti dan duduk di bebatuan memandangi pegunungan bergerigi yang memenuhi cakrawala selatan.

>Pemandangan di selatan sebelum Machhapuchhre Base Camp

Selepas jembatan kecil, kami tiba di pangkal sebuah tangga batu. Ada plang di sana: “Machhapuchhre Base Camp”. Kami sudah tiba di kawasan MBC. Dengan langkah pelan saya meniti tangga itu. Di ujung tanjakan, mata saya melihat segugus bangunan. Tapi jalur membawa kami terus ke atas, melipir agak jauh dari gugus bagunan itu. Samar-samar, di depan sana saya melihat sekumpulan bangunan lain di lahan yang lebih lebar dan terbuka. Beberapa kelompok pejalan berkerumun di pelataran, entah berdiri atau duduk mengelilingi meja.

Kami terus berjalan menempuh setapak tanah itu. Di satu titik, di depan sebongkah batu raksasa, Ezek dan D berhenti. Saya bergegas menyusul.

“Ada anjing,” kata salah seorang di antara mereka.

Anjing?

Dari celah seperti gua di antara permukaan tanah dan bagian bawah bongkah batu itu, saya mendengar suara anjing mengaing. Di bawah, dilapisi plastik transparan, ada dua potong kertas kecil. Salah satu kertas bertuliskan “HELP!” dan lainnya “I just had five puppies and need nutrition and food. Thank you! (No chocolate)”.

Namaste

Memunggungi Machhapuchhre yang suci, saya menyantap makanan sambil mengobrol dengan Ezek dan D.

Si Anak Kota terkekeh mendengar bahwa pada hari-hari sebelumnya kami cuma makan siang di pinggir jalan. Setelah berhari-hari makan siang seadanya, rasa-rasanya tak apa-apa makan siang di restoran. Annapurna Base Camp sudah dekat dan rupee kami masih banyak. Tadi pagi Ezek juga sudah menukar beberapa lembar euro-nya di Himalaya Hotel.

Menu makan siang saya tak berat-berat amat, yakni telur dadar dan sup bawang putih.

Sup bawang putih.

Akhirnya saya mencoba sajian legendaris itu. Sejak Tikhedhunga sup bawang putih sebetulnya sudah tersedia di rumah teh-rumah teh yang kami inapi. Tapi, barangkali karena hawa belum terlalu dingin, kemarin-kemarin saya tak berminat mencoba makanan yang katanya bisa menjadi penangkal gejala-gejala penyakit ketinggian itu. Pun, sampai menapakkan kaki di ketinggian sekitar 3.700 meter di atas permukaan laut ini, tubuh saya belum pernah mengeluh. Saya belum pernah sakit kepala, hidung meler pun hanya sesekali.

Setelah telur dadar habis, saya pindah tempat duduk. Sambil menyesap teh lemon hangat, saya mendongak melihat Machhapuchhre yang puncaknya menjulang sampai ketinggian 6.993 meter di atas permukaan laut.

>Machhapuchhre Base Camp

Tiba-tiba saya ingat pria paruh baya dari Korea Selatan yang menginap di hostel yang sama dengan kami di Pokhara. Ia bilang, ia akan menghabiskan waktu sebulan di Machhapuchhre Base Camp. Tapi saya tak melihatnya. Sebagai gantinya, kami malah berjumpa dengan tiga orang pendaki Nepal yang mengobrol dengan kami tadi malam—yang salah seorang di antaranya memberi saya sebungkus Surya. Kami hanya berbasa-basi sebentar, sebab mereka harus bergegas ke Annapurna Base Camp. Semakin cepat mereka mulai jalan, semakin cepat pula mereka kembali ke sini, MBC, di mana mereka akan menginap malam nanti.

Ketika perut sudah tenang, kami membayar makan siang lalu melanjutkan perjalanan. Usai MBC, kami menelusuri trek menanjak di pinggir lembah. Kami sudah berganti punggungan dan kini sungai berada di sisi kiri. Di depan sana, Annapurna South mengintip. Tampaknya saja dekat; ia sebetulnya masih jauh. Selepas jalur menanjak itu, trek mulai melandai. Rumput ilalang cokelat mengapit setapak tanah yang kami lewati.

Kami merayakan trek yang mulai melandai itu dengan beristirahat. Kami menyandarkan ransel di batu lalu menyibukkan diri melakukan entah-apa agar tetap hangat. Semula saya memotret lanskap. Lalu si Anak Kota dapat ide untuk membuat video gerak lambat. Ia jadi modelnya, saya tukang ambil gambar. Ezek, di dekat batu besar sana, sibuk memotret kalung-kalungnya. Setelah itu ia mengeluarkan papir, tabak, dan rumput lalu mulai melinting.

>Antara Machhapuchhre Base Camp dan Annapurna Base Camp

Tapi kami hanya kuat sebentar saja di sana. Udara dingin dan angin yang membekukan memaksa kami kembali berjalan.

Es yang terkumpul di rekahan-rekahan batuan memberi aksen putih bagi lereng-lereng gunung. Tak jauh di bawah sana, sebelah selatan, mengalir sungai kecil yang di ceruk-ceruk sepanjang bantarannya menumpuk es putih.

Di satu titik, Ezek turun ke lembah, mengais-ngais es, lalu melemparkannya kepada D dan saya. Dingin sekali rupanya.

Kami melanjutkan perjalanan sambil tertawa-tawa. Ezek berjalan paling depan, si Anak Kota di tengah, dan saya paling belakang. Lama-lama, saya tertinggal jauh di belakang. Sunyi sekali. Yang saya dengar hanyalah suara angin yang bertiup, rumput-rumput yang bergesekan, air yang mengalir, dan jantung yang berdebar-debar. Pemandangan semakin monoton: sabana cokelat dengan batu-batu besar di sana-sini, sungai yang lama-lama mengecil, dan pegunungan yang pucuk-pucuknya putih diselimuti es. Awan tebal masih menggelayut. Dingin makin menjadi-jadi. Rasanya seperti berjalan di atas alat jentera di pusat kebugaran yang ditaruh di dalam kulkas. Tak tahan lagi, saya tarik pelindung leher ke atas untuk menutupi wajah. Kini hanya area mata dan kening saya saja yang terbuka.

Selepas sebuah belokan, saya bisa melihat Ezek dan D di depan.

“Ayo!” D, yang sedang berjongkok, berteriak. Kemudian ia menangkupkan kedua tangannya, mengambil air sungai, lalu membasuh mukanya. Ah, pasti dinginnya seperti neraka!

Lalu mereka terus berjalan. Saya terus pula berjalan. Tapi saya tak buru-buru. Tak perlu mengikuti ritme berjalan mereka; saya punya ritme sendiri. Langkah saya makin pelan tapi tetap lebar-lebar. Saya mesti membiarkan badan menyesuaikan diri dengan oksigen yang kadarnya semakin menipis.

Barangkali sekitar satu setengah jam perjalanan dari MBC, mata saya menangkap plang Annapurna Base Camp. Di sekitarnya orang-orang ramai berkumpul. Samar-samar, saya bisa melihat Ezek dan D di antara mereka. Saya pun terus berjalan pelan, melewati tiap belokan, melintasi setiap aliran. Tanpa terasa, saya sudah berada di depan plang Annapurna Base Camp. Saya hampiri Ezek dan D lalu kami berjabat tangan dan berpelukan.

“Namaste!”

>Annapurna Base Camp

Setelah melepaskan ransel, saya duduk di batu. Tiba-tiba saja sebulir embun muncul dari mata saya, lalu disusul oleh yang lain, lalu yang lain. Saya buru-buru mengelapnya.

Satu-satu, para pelancong beranjak dari area sekitar plang, ada yang naik ada yang turun. Kami tetap di sana. Saya dan Ezek merokok, D berjalan ke sana kemari dan sibuk memotret dengan ponselnya. Setelah menghabiskan lintingannya, Ezek berjalan ke arah sebongkah batu besar di sebelah sana. Setelah menemukan jalur yang pas, ia mulai memanjat dan segera saja ia sudah berada di atas. Di puncak, ia berdiri sambil mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi.

Saat hari sudah makin sore, kami kembali mengangkat ransel lalu menaiki tangga menuju klaster losmen ABC. Setiba di puncak tangga, saya lihat bulir-bulir kecil jatuh dari langit. Semula saya kira itu abu—mungkin ada yang sedang bakar sampah. Tapi bulir-bulir itu dingin. Begitu saya duduk di teras salah satu penginapan, bulir-bulir itu berhenti turun dari langit.

“Apakah itu tadi salju?” tanya saya pada seorang pria berbaju merah yang duduk di samping saya.

“Ya,” jawabnya.

Lalu ia bertanya saya dari mana. Begitu tahu bahwa saya dari Indonesia, ia bicara bahasa Melayu. Ia bercerita bahwa ia pernah bekerja di Malaysia selama lima tahun. Bahasa Melayunya fasih sekali.

Lalu ia dipanggil rekannya. Sebelum ia beranjak, saya sodorkan tangan sembari menyebutkan nama.

“Ngema,” balasnya.

“Ngema?” saya merespons. “Saya pernah bertemu orang Kanada keturunan Tibet yang namanya Pema.”

“Iyakah?”

Sepeninggal Ngema, saya mencari Ezek dan D. Saya pun berjalan hati-hati di beton yang licin karena dilapisi es tipis. Di pinggiran tembok bangunan, es putih terkumpul.

Ternyata Ezek dan D sedang memesan kamar di losmen paling depan. Oleh pengelola penginapan, kami ditempatkan di kamar luas dengan tujuh tempat tidur. Masih ada ruang cukup lebar di tengah. Satu kamar lebar untuk tujuh orang diisi bertiga? Saya tak bisa membayangkan betapa dinginnya udara nanti malam.

22 pemikiran pada “Bulir Salju

  1. wahhhh.. setelah nonton videonya di youtube baru baca tulisan di blognya..
    ternyata memang beda ya, kalau pas monsoon berjalan menuju ABC berasa berjalanan di lapangan bola, kalau musim gugur berasa berjalan di sabana merbabu.
    rada nyesel dulu dari MBC foto-foto di sdcard ternyata belum kesimpan di harddisk sudah keburu dihapus hahaha

  2. Pada foto awal, kulihat kok gersang sekali, berarti debu benar-benar beterbangan jika terembus angin kencang. Pas akhir ada salju lalu kepikiran. Lembab tapi gersang atau bagaimana ahhahahaha. Selamat menjelajah sudut-sudut yang susah kita dapatkan sebagai orang Indonesia, mas

  3. Wah mata kita sama ya dalam memperhatikan lapisan-lapisan tanah yang terangkat ke atas. Waktu ke lower Mustang wah saya amazed banget dengan lapisan2 tanah itu sampai membentuk gunung tinggi. Ngebayangin alam perlu jutaan tahun untuk itu.
    Btw, apa yang terjadi dengan 3 orang di kamar 7 bed itu? Youtubenya apa ya?

  4. Gak pernah berhenti ngikutin blog sampeyan mas, dan gaya bercerita di blogku pun berkiblat ke blognya mas. Sukses terus ya mas, semoga diberikan lebih banyak kesempatan untuk menjelajah lagi.

  5. Foto-fotonya jadi hiburan tersendiri buat saya yang belum bisa jalan2 kemaan2 di masa pandemi ini! Akhirnya tiba di annapurna basecamp.
    Pemandangan sepanjang perjalanan sangat bagus mas. Begitu magis dan tenang. kalau pas monsoon berjalan menuju ABC berasa berjalanan di lapangan bola, kalau musim gugur berasa berjalan di sabana merbabu.
    rada nyesel dulu dari MBC foto-foto di sdcard ternyata belum kesimpan di harddisk sudah keburu dihapus hahaha Woven geotextile

  6. view sepanjang jalan memang cakeppp, baca post ini aku sambil mbatin “sanggup apa enggak aku jalan segituuuuuu jauhnya”, kalau diniati bisa pastinya,pokoknya ada temen jalan yang seru dan nyantai

Tinggalkan komentar