Hari-hari Terakhir di Nepal

Jalan menuju kawasan Thamel itu mirip ujung barat Jalan Urip Sumoharjo Yogyakarta, namun lebih sempit dan menanjak. Dan tentu saja tak ada bakul kue leker.

Langit telah gelap. Matahari sudah istirahat. Tapi saya masih harus berjalan cepat di trotoar yang terjal itu dengan perut yang bergolak.

Setiap kali kebelet dalam perjalanan, ingatan saya pasti melayang ke sebuah malam yang memalukan. Saya lupa persisnya kapan, barangkali sekitar 2009. Tapi saya ingat betul waktu itu saya memakai celana panjang M.Gee—yang dibelikan Bundo setelah mendapati saya tiba di JEC dengan celana jin sobek lutut.

Ceritanya malam itu saya sedang naik bus malam dari Jambi ke Padang. Demi menghemat biaya, saya tidak langsung terbang dari Jogja ke Padang. Alih-alih, saya naik pesawat ke Jambi, lalu dari Jambi saya menumpang bus malam tujuan Padang. Sialnya, selepas Muaro Bungo perut saya mendadak kontraksi. Ampas makanan agaknya sudah bosan dikurung usus. Dari perut, derita itu menjalar ke atas, lalu menjelma menjadi keringat dingin yang mengalir lancang lewat pori-pori pelipis.

Semula saya bertekad untuk menahan bendungan itu sampai rumah. Namun fungsi biologis tubuh saya berkata lain. Saya mulai lebih sering kentut. Untung saja para penumpang lain sudah tidur nyenyak. Namun kentut itu lama-lama makin pekat dan akhirnya, kata orang Jogja, muntup-muntup. Saat perasaan itu sudah tak tertahankan, saya bergegas mengangkat pantat dari bangku bus, berlari kecil melewati koridor, lalu berbisik malu-malu pada sang supir yang sedang khusyuk menangani setir.

“Pak, kalau ada rumah makan, mohon berhenti—saya perlu buang air besar.”

Untungnya sang supir sangat pengertian. Ia menghentikan bus di seberang sebuah rumah makan. Begitu pintu bus dibuka, saya meloncat turun, menyeberangi Jalan Lintas Sumatra yang lengang, lalu lari terpontang-panting ke jamban.

Lega sekali rasanya.

Namun, malang, celana dalam saya tak terselamatkan.

Tanpa terasa, saya sudah berada di Paknajol, jalan kecil di mana Rambler berada. Bak atlet jalan cepat olimpiade menyongsong garis finis, saya tak mengurangi kecepatan. Saya mesti bergegas! Terlambat sedikit saja, bendungan ini akan kolaps.

Pintu Rambler sudah di depan mata. Garis finis makin dekat. Lalu dengan mantap saya dorong pintu hostel itu. Ruang tamu ramai. Muka-muka familiar menyambut saya dengan gembira. Secepat kilat saya melapor dan dipersilakan ke atas, ke kamar K2 yang tempo hari saya inapi. Untungnya kamar sedang sepi. Saya jejalkan barang-barang ke dalam loker kemudian saya serbu kamar mandi.

Setelah urusan kamar mandi rampung, perut saya mulai meronta-ronta. Saya yakin sudah sejak tadi ia merana. Saya saja yang baru menyadarinya, sebab dari tadi terlalu fokus pada persoalan pembuangan. Saya terakhir kali makan tadi siang—dan itu pun hanya gorengan.

Semesta ternyata kembali mempertemukan saya dengan Rhys dan Lily. Ketika saya sedang menuruni tangga, mereka sedang naik. Kami berpelukan dan bertukar kabar. Lily berhasil mencapai Everest Base Camp, sementara Rhys masih betah saja di Nepal.

“Sudah makan malam?”

“Sudah. Baru saja,” jawab Lily.

Saya pun menyusuri Thamel seorang diri. Setelah sekian lama di tempat sepi, saya kembali berada di keramaian, menyaksikan orang-orang lalu lalang mengenakan jaket tebal, melintasi toko-toko yang menjual kain kashmir, melihat motor-motor besar dan mobil-mobil mini berusaha menembus lautan manusia.

Tanpa terasa saya tiba di perempatan Thamel. Rasanya baru kemarin Ezek, Lily, Yi, dan saya diturunkan di sini—dan ternganga melihat kabel semrawut yang membalut tiang-tiang listrik di sudut itu. Kini November sudah hampir berakhir dan saya sedang menjalani hari-hari terakhir di Nepal. Tubuh saya makin ringan, lingkar pinggang saya makin mengecil, dan memori sudah penuh dengan cerita yang akan terus saya ingat sampai akhir hayat.

Udara hangat memancar dari tungku tandoori di warung langganan. Saya melangkah pelan-pelan melewati tungku—disapa ramah oleh juru masak tandoori yang tampaknya mengenali muka saya—lalu duduk di sebuah bangku kosong. Di sekitar saya, orang-orang sedang sibuk makan dan mengobrol. Lalu seorang pramusaji menghampiri saya untuk menanyakan pesanan. Saya pesan panganan biasa: dal bhat sayur dan aloo paratha.

Tongba dan Perdana Menteri

Keesokan harinya, saya menghabiskan siang dengan membaca buku di lantai paling atas. Cerah sekali. Pegunungan Langtang yang putih bersih bertengger di antara perbukitan biru di utara. Kawanan gagak hilir mudik di angkasa. Tahu-tahu saja sudah malam.

Ketika sedang tenggelam dalam buku, saya mendengar suara langkah kaki dari arah tangga. Selang sebentar, sepasang pejalan muncul. Kami bertukar sapa. Kedua pejalan itu membuka pintu dapur lalu sibuk melakukan entah apa di sana. Beberapa menit kemudian tiba-tiba saja semangkuk kecil potongan buah mendarat di meja depan saya.

“Untukmu,” ujar pejalan perempuan itu.

Saya tersenyum dan mengucapkan terima kasih.

Keesokan paginya, ketika menyeruput kopi panas di lantai paling atas, saya berkenalan dengan kawan baru. Namanya Tory. Ia dari Malaysia dan baru saja menyelesaikan salah satu trek di Pegunungan Himalaya. Ini adalah kali ketiganya bertualang di Nepal.

Usai sarapan saya kelayapan. Tak peduli lagi soal arah, saya biarkan semesta menuntun perjalanan saya. Dan saya pun dibawa ke gang-gang tanpa nama yang berujung di stupa-stupa putih penuh bendera doa, berkejaran dengan kawanan dara, dan mencoba makanan-makanan yang bahkan tidak saya tanyakan namanya.

Sorenya, usai membeli safron untuk Nyonya, saya kembali berjalan tak tentu arah, melewati bazaar demi bazaar yang ramai, lalu tiba di depan sebuah tugu dengan tulisan “Bhugol Park Conservation Committee” warna hijau. Dengan tubuh dibalut jaket bulu angsa dan jemari berlapis sarung tangan, saya duduk di undakan yang menjadi dasar tugu. Musim sudah berganti. Musim gugur telah pergi. Kini Kathmandu menggigil dipeluk musim dingin. Meskipun tempat itu dikelilingi pepohonan tua nan tinggi, langit di sekitar tugu itu terbuka. Jadi saya bisa merasakan sedikit kehangatan matahari sore. Saya pun mengeluarkan buku dan menghabiskan sore di antara paragraf-paragraf yang seru.

Tiba-tiba saja saya mendengar seseorang berbicara di dekat saya. Saya mengalihkan mata dari halaman buku dan mendapati seseorang tengah berbicara pada saya dalam Nepali. Saya meresponsnya dengan singkat, “Maaf, saya tidak mengerti yang anda ucapkan.”

Mendengar saya berbahasa Inggris, ia meminta maaf. “Saya kira Anda orang Nepal,” ujarnya.

Lagi-lagi saya dikira orang lokal.

Bukannya pergi, ia malah terus mengajak saya mengobrol. Bertanya ini-itu. Ketika pertanyaannya sudah habis, ia pamit. Begitu ia menjauh, saya bisa melihat ia menenteng sesuatu. Untuk dijual, barangkali.

Saya mengajak Tory ke warung langganan untuk makan malam. Di sana, kami bertemu dengan seorang pejalan lagi yang sedang mencari tempat kosong di warung yang penuh itu. (Ah, betapa perjalanan membuat pertemuan dan perpisahan menjadi terasa begitu absurd.) Selesai makan malam, kami kembali ke penginapan, lalu mengobrol sampai mengantuk di lantai paling atas Rambler.

Tory besok akan pulang ke Malaysia. Sebelum pamit untuk tidur, ia mengajak saya berfoto untuk kenang-kenangan. Saya menggantungkan kamera di paku yang tertanam di dinding, mengatur pengatur waktu, lalu dengan pose norak kami senyum pada kamera.

Keesokan harinya saya bahkan lebih malas. Saya hanya pergi ke luar sebentar untuk membeli kaus oblong. Selebihnya, saya hanya bolak-balik antara kamar dan lantai paling atas.

Agak sore, ketika udara sudah teramat dingin, saya bertanya pada Rocky soal tempat enak untuk makan momo, “sepupu” pangsit ala orang Tibet.

“Ayo,” ujarnya. “Aku antar ke sana, Brother!” Rupanya tempat itu hanya selemparan batu dari Rambler. Saya tidak menyadari keberadaannya karena tempat itu agak mblusuk.

Saya mengikuti Rocky masuk lewat ambang sempit. Lalu, mendadak hidung saya dipenuhi aroma yang menerbitkan selera.

“Pesan saja di sana,” ujar Rocky yang kemudian berbasa-basi dengan sang pemilik warung. Begitu saya duduk di salah satu bangku, ia langsung pamit pulang.

Sekitar lima menit kemudian, saya akhirnya mencoba momo untuk pertama kalinya. Nyaris sebulan setelah menjejakkan langkah pertama di negeri atap dunia itu.

Ketika hari sudah gelap, Rhys dan Lily mengajak saya minum tongba.

“Apa itu?”

“Minuman beralkohol tradisional,” jawab Rhys.

Dengan tubuh dibalut jaket hibahan kawan tahun 2013 silam, saya mengikuti Rhys dan Liliy ke arah Durbar Square. Beberapa perempatan setelah Rambler, kami tiba di sebuah warung yang ramai. Rhys, yang sudah pernah ke sana, memesankan tongba untuk kami. Karena lantai bawah penuh, kami naik ke lantai dua. Rhys yang jangkung tampak mencolok di ruangan yang penuh warga lokal itu.

Kami duduk satu meja dengan beberapa orang Nepal. Perhatian, tentu saja, terarah ke Rhys dan Lily. Segera saja mereka diinterogasi orang-orang di sekitar kami. Saya di pinggir saja menikmati suasana.

Tak berapa lama setelah kami duduk, tongba kami tiba. Seorang pramusaji meletakkan tiga tong kecil dari bambu ke meja kami. Uap tipis menguar dari tong-tong itu. Saya ambil salah satunya, lalu saya lihat isinya: biji-bijian bulat yang warnanya mengingatkan saya pada tapai ketan hitam. Oh, jadi ini yang disebut jawawut.

“Jadi, ini tinggal diseruput?” tanya saya pada Rhys.

“Ya,” jawabnya. “Dan nanti kalau airnya habis kita tinggal menuangkan air panas dari teko itu.”

Saya pun menyeruput tongba itu lewat sedotan bambu yang sudah disediakan. Meskipun uap masih berkepul, tongba itu rupanya suam-suam kuku. Ternyata bukan warnanya saja yang mirip tapai ketan hitam, rasanya pun mirip air tapai yang diencerkan.

“#%&#(^(@#…,” seorang pemuda Nepal mengajak saya mengobrol. Karena ia bicara bahasa Nepali, tentu saja saya tidak mengerti.

“Maaf, saya tidak bisa bicara bahasa Nepal,” jawab saya.

“Oh, maaf,” ujarnya. “Saya kira Anda Nepali. Anda kelihatan seperti orang Nepal.”

Tongba itu lama-lama membuat badan saya hangat dan kepala saya menjadi ringan. Sesekali saya tuangkan air panas ke dalam tongba. Pemuda Nepal itu terus saja berbicara. Bahasa Inggris dan bahasa Nepal bercampur-campur tidak jelas. Meskipun banyak ucapannya yang tidak saya pahami, saya menimpalinya dengan tawa dan anggukan. Satu kali, telinga saya mendengar frasa yang familiar.

“Barusan kau bilang apa?” ujar saya.

“*(#%(@&@% perdana menteri—“

“Nah, itu dia,” saya memotongnya. “Perdana menteri!”

“Ya, perdana menteri,” ulangnya.

“Artinya? Artinya?” saya bertanya antusias.

Prime minister,” jawabnya.

“Ha! Dalam bahasa Indonesia prime minister juga perdana menteri!” saya berteriak, setengah karena benar-benar antusias, setengah karena alkohol. Lalu saya memintanya menyebut nama-nama benda dalam bahasa Nepal.

“*#(*^#))(^)#@*#((*^$topi–“

“Ha! Apakah topi artinya hat?” potong saya sambil memegang kepala—kepala saya sendiri.

“Ya! Ya! Ya!” jawabnya, juga setengah berteriak seperti saya.

Tiba-tiba saya ingat satu malam di jalur pendakian Annapurna Base Camp ketika tiba-tiba saya mendengar pemilik penginapan berkata “kursi”. Saya ceritakan soal itu. Saya lanjut mengoceh soal betapa ajaibnya “perjalanan” bahasa. Dari bahasa saja kita bisa mengetahui banyak hal, dari mulai eksodus manusia, perkembangan pengaruh politik dan kekuasaan, persebaran kepercayaan, dan lain-lain. Ruangan itu terasa makin hangat. Jika saya seorang sutradara film, sekarang saya akan meminta juru kamera menjauhkan kamera dari bangku kami, perlahan-lahan bergerak menjauh, melewati sela-sela jendela, masuk ke jalanan sempit Kathmandu, lalu terbang ke atas memamerkan labirin-labirin Thamel yang tampak tenang dilingkupi cahaya temaram kekuningan.

Ketika dingin terasa makin pekat, kami mengucapkan selamat tinggal pada kenalan-kenalan baru di warung itu.

Pintu depan warung ternyata sudah dikunci. Setelah membayar, kami keluar lewat pintu kecil di bagian samping bangunan. Susunan bata merah melepas kami ke jalanan Thamel yang sudah sunyi. Derap langkah kami memantul lirih di tembok-tembok bangunan tinggi. Kami berjalan beriringan di tengah.

Lalu, dari kegelapan, seseorang muncul dan bergerak mendekati kami. Ia menyapa, lalu berbicara dalam bahasa Inggris logat anak benua. Setelah mengikuti kami agak jauh, ceritanya mulai bikin saya kurang nyaman.

“Saya tukang ledeng,” ujarnya. “Tadi dirampok. Saya perlu uang untuk pulang.”

Tapi kami juga perlu uang untuk meneruskan perjalanan.

Himalaya di balik jendela

Alkohol membuat saya bangun dalam keadaan segar. Sudah sangat terang di luar. Lily pasti sudah dalam pesawat menuju Bangkok. Dari Thailand, ia akan menyeberang ke Myanmar. Saya juga sebenarnya hendak ke Myanmar, namun saya tidak mengatakannya pada Lily. Kalau memang ditakdirkan, kami pasti akan berjumpa lagi dan bernostalgia tentang hari-hari yang beku di Kathmandu. Tapi tak apa-apa. Lily, Rhys, dan saya sudah saling mengucapkan selamat tinggal tadi malam.

Usai mandi, saya mengepak keril. Tas gunung Eiger Dyneema yang saya beli di ujung 2013 itu tampak lebih padat ketimbang saat berangkat. Ketika akhirnya saya angkat, terasalah bahwa tas itu makin berat. Barangkali karena saya punya beberapa baju yang belum sempat dicuci.

Rhys masih asyik dalam tidurnya. “Aku pergi dulu. Sampai jumpa!” ujar saya. Entah didengar atau tidak oleh si Australia itu.

Ah! Saya akan sangat merindukan kamar K2 ini.

Di lobi ada Dai. Saya bertanya padanya apakah ia punya kontak taksi.

“Pesan lewat Pathao saja,” ia menyarankan.

“Apa? Putau?”

“Pathao,” ulangnya. “Kau bisa pesan taksi atau taksi motor pakai aplikasi itu.”

“Sebenarnya…”

“Oh! Kau tak punya aplikasinya?”

Jangankan aplikasinya, jaringan internet saja saya tidak punya. Selama di Nepal saya hanya mengandalkan internet gratis di penginapan. Keluar dari penginapan, saya hilang dari jaringan. Selama perjalanan ke kamp Annapurna, misalnya, delapan hari saya tidak membuka ponsel! Kini pun saya sudah tidak terhubung ke jaringan. Sehabis memberi kabar pada Nyonya bahwa saya hendak berangkat ke bandara, jaringan saya matikan. Saya bilang pada Nyonya bahwa saya sepertinya baru akan bisa memberi kabar besok sore—barangkali selepas menyeberangi perbatasan Thailand-Myanmar.

Saya menggeleng. Dai memesankan taksi motor lewat ponselnya.

Beberapa menit kemudian motor itu datang. Setelah berjabat tangan dan mengucapkan selamat tinggal pada Dai, saya menaiki motor lanang itu. Sang juru mudi meliuk-liuk di jalan-jalan sempit Thamel, lalu mengegas motor itu melewati jalanan Kathmandu.

Sebentar saja saya sudah tiba di kawasan bandara. Sang pengendara menurunkan saya di deretan pertokoan di seberang gerbang Tribhuvan. Saya sodorkan ongkosnya pada sang pengemudi. Saya lebihkan sedikit—beberapa puluh rupee. “Sisanya untuk Anda saja,” ujar saya.

Ia menerima beberapa lembar rupee kecil itu dengan gembira.

“Anda hendak ke terminal keberangkatan?” ia bertanya.

“Ya,” jawab saya sambil mengangguk.

“Saya antarkan ke sana,” ujarnya.

Setelah menukar sisa-sisa rupee pecahan besar menjadi dolar, saya mencari tempat untuk duduk di seberang selasar bandara. Saya keluarkan rokok kemudian saya sulut—mungkin inilah cara saya menunda perpisahan dengan Nepal. Nanti malam, mata saya akan melihat pemandangan yang berbeda, telinga saya bakal mendengar bahasa yang berbeda, dan kulit saya akan merasakan hawa yang berbeda pula.

Setelah mematikan rokok, saya masuk ke terminal keberangkatan. Keteledoran membuat saya antre di barisan yang salah. Bukannya di Thai Lion Air, saya malah antre di Thai Airways.

Saya pun pindah banjar dan mengantre dari awal. Begitu giliran saya tiba, petugas perempuan itu langsung menimbang bawaan saya. Seperti yang sudah saya duga sebelumnya, ransel saya rupanya memang jadi makin berat. Ternyata saya hanya punya jatah bagasi kabin—dan berat bawaan saya melebihi berat maksimal.

“Ini tidak bisa masuk kabin,” ujar sang petugas.

Selama beberapa detik saya tidak bereaksi. Selama membawa ransel ini, saya tidak pernah diharuskan untuk memasukkannya ke bagasi. Ukurannya kecil, hanya 35 liter plus 5 liter tambahan jika muatannya maksimal. Bagi saya ini tidak masuk akal. Tapi petugas di depan saya itu jelas punya perspektif yang berbeda.

“Ini harus masuk bagasi,” lanjutnya. “Anda mesti membayar.”

“Berapa?” tanya saya.

“Sekitar 30 dolar,” jawabnya.

Saya masih punya dolar untuk perjalanan ke Myanmar. Tapi hari itu saya tidak sedang berminat untuk kalah.

“Saya tidak punya sebanyak itu,” jawab saya.

“Mohon ke pinggir dulu,” ujarnya ketus. “Anda menahan antrean.”

Saya menyingkir lalu mencari tempat lowong untuk meletakkan ransel.

Beberapa bulan lalu saya menonton sebuah film komedi romantis Filipina, That Thing Called Tadhana. Adegan pertamanya adalah seorang perempuan yang—sama seperti saya—juga kelebihan bagasi. Bedanya, ia mengalaminya di Roma dan saya di Kathmandu. Perempuan itu membuang semua yang bisa ia buang dari kopernya. Saya juga akan memakai siasat seperti itu, tapi saya modifikasi sedikit. Bukannya saya buang, saya akan memakai atau menenteng semua yang bisa saya pakai dan tenteng. Saya pun mengeluarkan jaket bulu angsa, flanel, kupluk, dan laptop. Pernak-pernik lain saya rangkum dalam kresek dan saya taruh dekat tiang beton penyangga bandara.

Lalu saya kembali lagi ke meja check-in dan menimbang ransel itu.

“Masih berlebih,” ujar sang petugas.

Saya kembali menepi dan mengeluarkan beberapa barang.

Ketika kembali ditimbang, ransel saya hanya beberapa gram lebih berat dari batas maksimal. Dengan enggan, sang petugas memberikan label bagasi kabin kepada saya.

Jika ini adalah sebuah film dokumenter perjalanan independen, pastilah saya, sang narator, sedang mengeluarkan kata-kata penutup yang bijaksana. Namun kenyataan tidak seperti itu. Sebulan di Nepal nyatanya tak cukup membuat saya menjadi bijaksana. Sebaliknya, di hari terakhir ini, saya diplot semesta untuk menjadi seorang turis brengsek yang membuat kesal para petugas check-in Thai Lion Air.

Secepat kilat, saya sambar barang-barang yang saya taruh di dekat tiang, lalu saya panggul ransel itu ke arah imigrasi. Sebelum masuk imigrasi, entah karena pemindai sedang mati atau memang karena Bandara Tribhuvan tidak punya gerbang pemindai manusia, tubuh saya digeledah petugas.

Lalu, tak terasa, paspor saya sudah dicap dan saya tiba di ruang tunggu keberangkatan. Karena di dalam penuh, saya menghampar di lantai luar. Jendela di sebelah sana tak cukup untuk membuat suasana jadi lebih semarak. Tempat ini terlalu gelap. Orang-orang berseliweran di koridor. Banyak pula yang berhenti di toko bebas pajak untuk membeli rokok Nepal yang murah.

Menjelang waktu keberangkatan, saya masuk ke ruang tunggu. Sambil menunggu, saya masuk ke ruang merokok di dekat pintu masuk. Ruangan itu kecil, pengap, dan kotor. Tapi asap membuat hawa jadi lebih hangat. Setelah mematikan rokok terakhir saya di Nepal, saya duduk di salah satu kursi ruang tunggu.

Selang sebentar, saya sudah di dalam bus kecil menuju pesawat. Dari jendela bus, saya terkesima mendapati bahwa pesawat Buddha Air bernomor seri 9N-AJO—yang saya lihat ketika tiba—sedang melaju lambat di tarmak. Kebetulan yang mengherankan.

Atau, sebenarnya kebetulan hanyalah persoalan bagaimana engkau melihat sesuatu?

Sudah lewat jam 3 sore ketika akhirnya pesawat yang saya tumpangi itu tinggal landas. Pesawat itu tak penuh. Tiga bangku di seberang sana kosong. Dan, dari jendela itu, saya bisa leluasa melihat Pegunungan Himalaya yang tampak begitu anggun diterpa cahaya.

3 pemikiran pada “Hari-hari Terakhir di Nepal

Tinggalkan komentar