Rakutak

Akhirnya kami berlima berbalik arah, kembali menuruni punggungan yang dipenuhi tanaman rumput gajah. Langit telah gelap pekat namun kami urung jua sampai di Danau Ciharus. Hujan semakin lebat, kabut tipis yang nakal menghalangi mata melihat. Tanda-tanda alam itu seakan berusaha memberi pesan bahwa berjalan di malam hari tak akan membawa kami ke mana-mana. “Kalau kata gue sih kita nge-camp dulu di sini,” usul Novel, kawan baru dari Bandung.

Sepakat, tidak satu pun suara protes. Memang begitulah seharusnya ketika tersesat di gunung. Harus satu kepala. Tiap anggota tim harus rela meleburkan egonya ke dalam satu suara bulat. Banyak cincong hanya akan menghasilkan perselisihan. Saya jadi teringat kisah dua orang pendaki Gunung Merbabu, jauh bertahun-tahun yang lalu, yang berselisih paham soal jalan sesaat sebelum mencapai Sabana Pertama. Salah seorang memilih jalur kanan sementara yang lain bersikeras ke jalur kiri. Kata sepakat tak tercapai malah golok yang berbicara. Perselisihan mereka meninggalkan kenangan yang sampai sekarang masih dapat disaksikan para pendaki Merbabu: memoriam.

Kami berjalan meniti pematang yang memisahkan lembah dan punggungan. Parit kecil mengalir deras di sebelah kanan, sebelah kiri lembah dalam juga lebar. Di lereng punggungan seberang tampak siluet pondok-pondok yang biasa digunakan petani untuk berteduh atau menyimpan hasil panen. Seingat saya sebelum gelap tadi kami sempat melintasi kebun kol. “Setidaknya kita sudah di lahan pertanian,” batin saya sekadar menanangkan diri.

Kami menemukan tempat datar di samping parit lalu segera membangun kemah. Bergantian kami dirikan tenda tunnel milik Obreng dan dome mini kepunyaan saya. Kedua tenda lalu dihubungkan dengan terpal hitam lebar. Setelah “rumah” beres, giliran peralatan dan bahan makanan yang kami keluarkan.

Pegunungan Malabar

dok. @helobenny

trek pendakian gunung rakutak
Saliara di gunung rakutak

“Lu gue kasih kehormatan bikin sayur sup, Jo,” ujar Benny. Setelah itu saya menyibukkan diri memotong bawang merah dan bawang putih. Beginilah naik gunung. Supaya perut bisa terus terisi engkau harus mengolah sendiri bahan makanan yang ada.

Sekitar dua puluh empat jam yang lalu kami masih bisa memesan nasi goreng di Ciparay, kota kecamatan kecil di Kabupaten Bandung. Dari Ciparay kami harus menumpang angkot sekali lagi hingga ke Sekretariat Himpala Rakutak di Pacet.

Untuk ukuran gunung yang tidak terlalu populer, akses transportasi menuju titik awal pendakian Gunung Rakutak tergolong gampang. Tiba di Ciparay ketika azan magrib mulai berkumandang, semula saya kira kami harus menyewa mobil atau menumpang ojek agar bisa sampai di Himpala Rakutak. Nyatanya sampai menjelang isya begini masih banyak angkot yang ngetem, mengantre giliran untuk mengantarkan penumpang.

Angkot yang kami tumpangi kondisinya tidak terlalu prima. Kaca spion sisi supir hanya tersisa secuil. Klakson nihil. Knalpotnya berkali-kali meledak tanpa sebab. Setiap kali luput mengelaki lubang akan terdengar bunyi nyaring berdentang. Pertanda sesuatu telah beradu dengan aspal; entah knalpot entah as roda.

Namun yang paling mengkhawatirkan adalah absennya penerangan. Lampu depan mobil itu hanya hidup sebelah. Sang supir sampai harus mengeluarkan kepala supaya dapat melihat kondisi jalan di depan. Sekali waktu sebuah sepeda motor menyalip dari belakang. Lampunya menyala terang. “Lampunya terang. Tungguin, dong!” sang supir berteriak konyol. “Lampu aing kayak angka satu, euy!”

Ganjil. Sang supir dan kawan-kawannya di bangku depan tetap ceria di tengah segala keterbatasan. Jalan gelap pekat, menanjak, dan penuh lubang tak cukup mampu menghalagi kepala mereka untuk bergoyang-goyang menikmati irama dangdut koplo yang keluar dari ponsel berpengeras suara sumbang. Mereka hidup pada saat ini.

Harusnya kami yang dibayar supir, bukan sebaliknya. Di sebuah tanjakan menjelang sekretariat Himpala Rakutak, angkot tiba-tiba mati. Para penumpang kalang kabut turun menyelamatkan diri. Salah seorang awak angkot dengan sigap mencari batu besar lalu mengganjal ban belakang. Berhasil, benda itu berhenti. Tapi tak cuma sampai di sana tingkahnya; ia menolak distarter. Tentu saja ia butuh bantuan manusia seperti kami untuk mendorong sampai mesinnya hidup kembali.

***

“Cikuray kayak gini medannya, Jo,” Benny memberi tahu saya di hari kedua pendakian, beberapa ratus meter sebelum puncak. Semalam kami mendirikan kemah di sebuah tempat lapang selepas ladang. “Tapi lebih lebih panjang, sih. Ada kali sekitar enam jam,” lanjutnya.

Terjal memang dan tak terbayangkan rasanya menempuh medan seperti ini selama setengah hari. Untung banyak akar pohon yang bisa digunakan untuk berpegangan. Bagi saya selama masih ada pegangan dan tidak melibatkan hal-hal teknis seperti tali temali yang rumit, tidak jadi soal.

Di belakang, Pegunungan Malabar yang memanjang sudah mulai disembunyikan pepohonan lebat. Ketika masih di semak ilalang tadi pagi, pegunungan yang namanya diabadikan sebagai kereta api itu kelihatan agung sekali. Bersama gemawan yang menyamarkan puncak-puncaknya, ia tampak seperti benteng purba yang sengaja dibangun untuk melindungi Tanah Sunda dari serangan negeri tetangga.

jembatan sirathal mustaqim gunung rakutak
sirathal mustaqim gunung rakutak
pemandangan dari puncak gunung rakutak

Gunung ini lumayan sepi. Dibanding gunung-gunung lain di Jawa Barat seperti Gede, Pangrango, Papandayan, Salak, atau Ciremai, Rakutak memang kalah pamor. Namanya jarang disebut. Barangkali di kalangan pendaki gunung ini dianggap sekadar bukit sebab ketinggian puncaknya hanya 1921 mdpl. Tak menarik, tak menantang, tak dapat dibanggakan. Menurut catatan buku register pendakian, kami adalah pendaki pertama yang naik minggu ini. Sebelum ini ada satu atau dua rombongan pendaki yang naik tanggal 3 Januari. Padahal Rakutak menyimpan cerita dari masa lalu. Ke haribaan hutan lebat gunung inilah Kartosoewirjo, imam besar DI/TII, menyembunyikan diri. Selama beberapa waktu ia bergerilya sampai akhirnya ditemukan dalam keadaan sakit parah di sebuah gubuk oleh tentara Siliwangi.

Kami tiba di area puncak menjelang tengah hari dan memang tak ada orang di sana selain kami berlima.

Puncak Rakutak tidak tunggal. Ia membujur dari barat ke timur dan dihubungkan oleh pelana-pelana sempit berpagar jurang. Di depan sana, tertutup kabut tipis, adalah pelana legendaris yang secara nakal dinamakan Shiratal Mustaqim, seperti nama jembatan sempit di akhirat yang terbuat dari sehelai rambut dibelah tujuh.

Sementara itu langit mulai bergemuruh, rintik air mulai jatuh. Awan hitam di atas kelihatan semakin berat dan siap menurunkan seluruh isinya. Enggan diguyur hujan, dengan sigap kami menggelar bivak. Sebentar saja pelindung itu rampung. Lalu giliran petir yang gemeletar, hujan turun deras tanpa ampun. Satu jam lebih kami berlindung di bawah bivak. Memasak, makan, dan bercengkerama sambil mengintip dataran rendah hijau berlapis kabut di bawah sana.

***

Meskipun secuil, dari puncak paling timur saya dapat melihat tujuan kami: Danau Ciharus. Jika dilihat-lihat, danau itu tampak seperti simbol cinta berwarna perak yang ditempelkan sekenanya di tengah-tengah hamparan pegunungan. Di belakangnya Gunung Cikuray menjulang tinggi. Kerucut sempurna bak tumpeng yang siap disayat puncaknya.

Dari sana perjalanan menjadi semakin berat. Kami harus turun melalui jalur licin nan terjal, bersusah payah mengelak dari sengatan duri pohon-pohon tropis yang ganjil, lalu ditelan kanopi hutan yang rapat. Belum pukul tiga sore namun gelap sudah turun sedikit-sedikit, membayang-bayang di depan. Beberapa kali kami jumpai bekas bivak. Perapiannya masih hangat seperti baru saja ditinggal oleh pembuatnya yang entah siapa.

“Ini mah lebih berat dari Semeru,” ucap Benny suatu ketika. Saya mengerti bahwa itu hanyalah sebuah ungkapan hiperbolik untuk menegaskan betapa menantangnya jalur pendakian Gunung Rakutak. Dalam ucapan Benny itu sebenarnya terkandung rasa prihatin pada kecenderungan generasi baru pendaki gunung yang hanya tertarik pada gunung-gunung tinggi seperti Semeru, Rinjani, atau Kerinci dan memandang sebelah mata gunung-gunung “biasa”.

Syukron, kawan saya yang juga seorang pejalan, sekitar setahun lalu dalam kereta menuju Malang pernah berjumpa dengan serombongan pendaki dari Jakarta. Keril mereka besar-besar, penampilan meyakinkan. Mereka mau ke Semeru. Namun ketika ditanyai tentang pengalaman mendaki, semua  menjawab bahwa itu adalah kali pertama. Serombongan pendaki perdana ngoyo mendaki rajanya gunung di Jawa.

Aing dulu pertama mendaki ke Manglayang,” ungkap Obreng ketika kami bercerita mengenai pengalaman pendakian perdana. Kawan saya dari KPA Gempa itu membuat “skripsi” ekspedisi 18 gunung di Jawa sebagai syarat naik tingkat menjadi anggota penuh. “Sebentar. Tiga jam doang naiknya,” tambahnya kemudian.

Entahlah. Saya hanya merasa ada sesuatu yang kurang pas, sesuatu yang tidak ada pada tempat semestinya. Sesuatu yang harus diperbaiki sama-sama.

danau ciharus gunung rakutak
hutan lebat dan basah gunung rakutak
menyeberangi sungai di gunung rakutak

Lalu menjelang senja kami tiba di aliran sungai pertama. Di sana kami mengisi botol air yang isinya semakin menipis. Sejak dari ladang kemarin, itulah sumber air pertama yang kami temui. Selepas aliran sungai jalur berubah menjadi landai. Di samping jalur, pipa air dari paralon tebal berwarna hitam seolah menuntun langkah kami ke tujuan. Kami terus berjalan ke ujung lembahan. Sebuah turunan terjal mengantarkan kami ke ladang kol. Kami melintasinya kemudian melipir ke sebuah punggungan yang ditumbuhi pohon kopi.

Kami berjalan meniti pematang yang memisahkan lembah dan punggungan. Parit kecil mengalir deras di sebelah kiri, sebelah kanan lembah dalam juga lebar. Di lereng punggungan seberang tampak siluet pondok-pondok yang biasa digunakan petani untuk berteduh atau menyimpan hasil panen.

Di ujung punggungan, jalan setapak itu tiba-tiba hilang. Parit kecil itu pun berubah menjadi jalur irigasi beton yang mengalirkan air ke parit lain di punggungan seberang.

Kami menemukan sebuah jalan setapak menanjak melintasi rumpun-rumpun rumput gajah. Dengan lampu senter menyala terang, kami susuri jalan itu. Semakin ke atas cabangnya semakin banyak sementara jalurnya semakin tidak jelas. Seharusnya perjalanan dari puncak ke Danau Ciharus hanya memakan waktu sekitar empat jam. Kenyataannya telah lebih dari empat jam kami berjalan namun belum ada tanda-tanda keberadaan sebuah danau.

Akhirnya ketika ilalang semakin tinggi dan jalur semakin tak masuk akal, kami memutuskan untuk turun. Seperti pada cerita alinea pertama. Lebih baik istirahat dulu, perjalanan bisa menunggu sampai pagi.

Maka di sinilah kami. Berkemah di antah berantah tanpa seorang pun dari kami berlima yang paham keberadaan kami sekarang. Yang kami paham adalah sekarang perut sedang meraung-raung minta diisi.

“Wah, kayaknya nggak cukup nih,” ujar saya melihat panci Trangia 27 yang kepayahan menampung sup untuk porsi lima orang. Trangia saya aslinya memang cuma didesain untuk memasak bahan makanan porsi dua orang.

“Pindahin ke sini aja, dah,” Obreng menjawab sambil menyodorkan panci yang lebih besar. “Udah dikasih bumbu belum?”

Saya menyeringai. Menggeleng.

Camera 360 danau ciharus gunung rakutak
logistik
Naik angkot jurusan Ciparay dari Terminal Leuwi Panjang. Dari Ciparay naik angkot menuju Pacet, minta berhenti di Sekretariat Himpala Rakutak. Basecamp-Puncak 3 jam, Puncak-Danau Ciharus 4-5 jam. Kontak Himpala Rakutak: +6282-116-134666, +6281-322-163730.

7 pemikiran pada “Rakutak

Tinggalkan Balasan ke outbound malang Batalkan balasan