Pecinta Alam Yang Mati Muda

Siapa anak muda sekarang yang tidak kenal sama Soe Hok Gie. Pemuda harapan bangsa yang mati muda. Populer, mungkin lebih tepatnya kembali populer, semenjak sosoknya difilmkan dalam Film “Gie”. Tak tanggung-tanggung, yang berperan sebagai Gie adalah Nicholas Saputra.

Tanggal ini 40 tahun yang lalu Gie kembali ke haribaan Yang Maha Kuasa. Sehari menjelang usianya 27 tahun pemuda itu meregang nyawa di puncak abadi para dewa, Mahameru. Gie memang pernah menulis kira-kira begini dalam diarinya; “Nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan, yang kedua adalah dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah yang mati tua.” Mudah-mudahan dia nyaman dengan nasibnya.

Tipikal “radikal” seperti Gie memang tidak cocok untuk mati nyaman di atas kasur. Semasa hidupnya dia dikenal sebagai seorang “pemberontak” yang tidak akan ragu-ragu mengatakan “tidak” untuk ketidakadilan.

Anda pasti masih ingat adegan di film “Gie” ketika dia duduk di kantor majelis guru SMP Strada untuk memprotes kenapa nilai bahasanya bukan yang terbaik di kelas. Padahal dia yakin dialah yang terbaik di seluruh sekolah. Gie sebelumnya memang pernah berseteru dengan guru bahasa itu tentang status Chairil Anwar dalam novel Pulanglah Dia Si Anak Hilang. Guru bahasanya berkata bahwa Chairil adalah pengarangnya karena orang-orang di sini tidak kenal André Gide. Pemuda Hokkian itu bersikeras dengan pendapatnya, yang sebenarnya memang benar, bahwa tetap saja Chairil hanya sekadar penerjemah novel itu karena dalam versi Bahasa Prancis, novel itu adalah karya André Gide. Terakhir dia berkata kira-kira begini, “Ini tidak adil, Pak. Bapak memberi X nilai bagus karena dia keponakan bapak.” Dan semester itu juga dia pindah sekolah.

Tulisan-tulisannya semenjak SMP sampai setelah menjadi dosen sejarah di UI juga tajam. Gie seolah tidak mengenal kompromi terhadap ketidakjujuran, pengkhianatan yang dilakukan penguasa terhadap rakyat, dan hal-hal yang dianggapnya salah. Mungkin di pikirannya begini; salah ya tetap saja salah dan kebenaran tidak usah ditutup-tutupi. Saya sendiri baru membaca “Catatan Harian Seorang Demonstran” dan skripsi sarjananya yang berjudul “Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan”. Namun dari dua tulisannya itu tergambar dengan jelas ciri-cirinya yang straight to the point.

Yang membuat saya mengaguminya adalah Gie tidak tertarik untuk ikut berpolitik. “Politik tai kucing,” katanya menyitir celetukan Herman O. Lantang, sahabatnya. Tentu saja yang saya maksud adalah politik Indonesia karena sewaktu menjadi mahasiswa Gie bisa dikatakan sudah berpolitik. Dialah salahsatu tim sukses Herman O. Lantang dalam pencalonan Herman menjadi ketua senat mahasiswa sastra. Gie lebih memilih untuk bercumbu dengan alam. Di film, Gie bahkan merayu Herman dengan kalimat “Kita bikin Mapala lebih kuat, Man.”

Salahsatu sajak bikinannya juga melegenda di antara para pecinta alam. Judulnya Mandalawangi – Pangrango.

Senja ini, ketika matahari turun dalam jurang-jurangmu
Aku akan kembali
Ke dalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu
Walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna
Aku bicara denganmu tentang cinta dan keindahan
Dan aku terima kau dalam keberadaanmu
Seperti kau terima daku
Aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
Hutanmu adalah misteri segala
Cintamu dan cintaku adalah kebisuan semata
Malam itu ketika dingin dan kebisuan menyelimuti
Mandalawangi
Kau datang kembali
Dan bicara padaku tentang kehampaan
“Hidup adalah soal keberanian, menghadapi tanda tanya
tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita menawar
terimalah dan hadapilah”
Dan antara ransel-ransel kosong dan api unggun yang membara
Aku terima ini semua
Melampaui batas-batas hutanmu, melampaui batas-batas jurangmu
Aku cinta kamu Pangrango
Karena aku cinta pada keberanian hidup

Soe Hok Gie. Jakarta, 19-7-1966

Jika bocah-bocah Amerika punya Jimi Hendrix dan Kurt Cobain untuk dijadikan sosok yang menginspirasi, Indonesia punya Soe Hok Gie!

[Gambar atas diambil dari wikipedia, yang bawah dari blognya Masboi.]

32 pemikiran pada “Pecinta Alam Yang Mati Muda

    1. @nakjaDimande: sebelumnya nama Gie kurang terkenal ya, bundo. mungkin sengaja ditutupin temen2 seangkatannya yang akhirnya jadi “peliharaan” orde baru. :mrgreen:

      kayak Gie? mati mudanya maksudnya? hehehe..

  1. selalu merinding baca puisinya itu lho…

    *oot, setiap kali membayangkan gie, yang muncul selalu nicolas saputra… (korban film nih), yang ada ketika foto gie yang asli muncul malah jadi berasa asing… (bener2 korban film), ck..ck..ck… (pelototin tuh foto gie, v, biar yang melekat di memori yang diatas itu…), heheh…

  2. iya neh, kutu dari dulu tertarik banget sama biografinya Gie … cuma belum sempet aja buat nyari2 lebih. Pengen beli bukunya mahal banget, hee.

    Postingan mas shige membuka mata kutu, huu, benar2 sosok idola yang patut diidolai karena ideologinya, kita tunggu gie gie berikutnya

  3. 2 kali pendakian, saya agak lama berdiri di tugu kecil peringatan Soe Hok Gie di perbatasan lintasan cemara & tanjakan pasir, sebelum menuju puncak mahameroe. mencoba membayangkan betapa banyaknya manfaat yg dia berikan jika umurnya sedikit lebih panjang. semoga semangatmu makin membuat kami menjadi lebih baik, semoga jiwamu tenang disana sahabat…

  4. pagii…ini baru adventure sejati^^
    puisinya bewh,,kaguum deh sama soe hok gie
    oiaaa meg bnr prasastinya ada di mahamemru
    berdampingan sama idan lubis ea…
    met aktifitas^^

  5. @ulan: kalo saya sih mending nonton filmnya dulu baru baca “catatan seorang demonstran”.. :mrgreen:

    @kidungjingga: iya. saya juga. 😀 masalahnya sebelum itu kita belum punya bayangan gie itu sebenernya orangnya gimana.. 😀

    @tyan’s: kalo dikaitin sama teologi mah jawaban kita semua pasti mengarah ke Tuhan. :mrgreen:

    @adityahadi: yang saya kagumi dari gie itu juga idealismenya. di saat orang-orang sekarang banyak yang bilang “makan tuh idealisme lo”, perlu sosok gie buat diteladani..

    @cantigi: :mrgreen: diajak ngobrol gak sama dia? hehe..

    @bri: halo bri.. :mrgreen:

    @nahdhi: emang sih ini cerita. tapi nonfiksi bro.. orangnya pernah benar-benar ada dan memang seperti itu. 😀

    salahsatu tokoh kunci yang menumbangkan orde lama.

    @arifn: dia salahsatu pendiri Mapala FS-UI (sekarang Mapala UI) dan dia juga yang pertama kali mencetuskan istilah Mapala. 😀

    @bang aswi: semoga, bang.. 😀

    @zephyr: hari minggu ntar dan minggu depan saya hiking bro.. ke bromo trus ke kaki merapi. 😀

    @hanif: bedanya kharil anwar tidak terlalu peduli terhadap masalah politik seperti halnya Gie. dia lebih sibuk bikin puisi..

  6. @Morishige: kalau ke Bromo itu saya (dan teman2 satu tim) bilang bukan hiking, karena tantangannya boleh di bilang ga ada. bukan untuk pendakian, tapi semacam darmawisata ke bukit.. 😀

  7. wakh aku belum begitu kenal ma dia mas, soalnya dikita kurang sekali informasi tentang dia, tapi kalo sajak yang itu aku kenal….wakh jadi itu buatannya ya

  8. betul mas….dari pada majang patung obama kecil, mending majang patung gie aja yang sudah jelas adalah putra bangsa sendiri dan memiliki idealisme yang patut dicontoh supaya bisa jadi pengingat untuk mereka yang duduk di pemerintahan biar ga lupa ama rakyat…betul???

  9. Wah, padahal baru tadi malam saya menonton di kickandy tentang Gie. Sekarang lagi berusaha mendapatkan buku Catatan Harian Seorang Demonstran.

    Satu pertanyaan saya untuk kamu masbro, apa Gie sudah berstatus sebagai pahlawan nasional? Jujur, saya baru tau nama Soe Hok Gie belakangan ini saja.

  10. @JR: memang masih kurang mas. padahal Hok-gie berjasa besar dalam menumbangkan orde lama.

    @adin: setuju. gak ngerti saya kenapa tiba-tiba tercetus ide untuk membangun patung presiden Amerika… cuma karena dia pernah sekolah di jakarta. aneh..

    @pushandaka: semangat masbro. ntar kalo bukunya udah ketemu, review ya? 😀

    setahu saya sih belum. satu hal, Gie kalau nggak salah lahirnya tahun 1942, tanggal 17 desember. jadi waktu perang kemerdekaan, dia masih 3 tahun. saya sih nggak tau pasti kriteria penetapan “pahlawan”, tapi yang pasti Gie adalah salahsatu “otak” usaha penumbangan rezim demokrasi terpimpin… :mrgreen:

  11. Mbaca Mandalawangi bikin saia merinding.. tanda ia membuat puisinya dengan penuh penghayatan. Salut untuk Gie. Salah satu pahlawan masa kini pemuda-pemuda Indonesia.

    Saia baru mulai baca Catatan Harian Seorang Demonstran sebulan lalu nih 😀

  12. saya sangat terisnpirasi dengan mu gie, dan saya juga akan mencoba memulai apha yang selama ini tertunda dan takkan pernah takut memberontak pada kesalahan…

Tinggalkan Balasan ke nahdhi Batalkan balasan