Selinting Rokok di Sindoro (1)

Malam itu semakin jauh dari Jogja, udara menjadi semakin dingin. Saya berdua dengan Bang Deka naik motor dari Jogja menuju perbatasan Temanggung-Wonosobo untuk mendaki Gunung Sindoro. Kali kedua bagi saya, pertama untuk Bang Deka. Sebelumnya saya ke Sindoro dalam rangka “percobaan” pendakian marathon SS (Double S/Sumbing-Sindoro) 2007 lalu. Dulu ramai, sekarang sepi cuma berdua.

Sudah lewat tengah malam ketika kami tiba di Dusun Kledung. Di sini ada basecamp pendakian untuk mengurus perizinan. Basecamp itu dikelola oleh sekelompok pemuda yang menamakan diri dengan Grasindo (Gabungan Remaja Sindoro).

Kebetulan ketika malam itu kami mengetuk pintu yang membuka adalah Mas Dodo, salahsatu tokoh Grasindo. Pembawaannya “sok” cool namun ternyata ramah dan bersahabat. Terbukti, setelah pendakian itu dia selalu sms memberi kabar jika anak Grasindo punya acara.

“Masuk, masuk. Dari mana, berdua aja nih?”

Benar kata orang kalau pergi berdua, yang ketiga adalah setan. Tak peduli itu pacaran atau pendakian. Sedari masih di Jogja setan sudah mengompori saya untuk bikin ribut. Untuk jadi junior tak tahu diri. Semua bermula dari rasa kesal saya sama Bang Deka yang seolah-olah melimpahkan semua tetek-bengek persiapan pendakian pada saya. Dia santai-santai saja seperti layaknya senior. Dia memang dua angkatan di atas saya.

Kemudian ketika dia packing ransel gunung 80 liternya, saya tambah kesal ketika dia tidak melapisi dalamnya dengan trashbag. Padahal carrier itu juga akan diisi oleh jiriken air lima liter yang selalu tumpah di bagian lehernya. Saya bawel menyuruhnya makai plastik hitam besar itu. “Trashbag jangan lupa, Bang. Ntar bocor berabe.” Itu terus saya ulang-ulang.

Ternyata dia tidak menanggapi. Tetap saja carriernya nggak pakai daleman. Wajar dong kalau sepanjang jalan Jogja-Wonosobo saya selalu menimpali obrolannya dengan ketus? Saya memang junior yang tak tahu diri.

Suasana bertambah tegang pada saat packing ulang di basecamp Grasindo. Ketika Bang Deka berusaha memasukkan jiriken yang sudah saya isi itu ke dalam carriernya, airnya tumpah membasahi ransel itu. Tumpahnya memang tidak seberapa. Tapi yang jelas itu menghembuskan hawa kemenangan pada saya yang bawel menyuruh Bang Deka memakai trashbag.

“Tuh, kan, apa kubilang?”

Seketika Bang Deka melemparkan pandangan tajam ke arahku. “Maksudmu apa?”

“Masalah trashbag tadi. Kan abang sudah aku ingatkan buat nggak lupa pakai trashbag. Ternyata benar, kan, kataku?”

Dia menggeleng. “Nggak, ini lebih dari cuma soal trashbag. Dari di Jogja tadi udah ada yang aneh. Nggak biasanya kayak gini.”

“Biasa aja…”

“Nggak, tetap saja aku masih merasa ada yang aneh. Dari tadi kau ketus terus. Kau mau ngajak aku berantem, ayo kita selesaikan?”

Bang Deka mengajak saya ke lapangan kecil di sebelah basecamp Sindoro. Yang pernah naik Sindoro pasti mengerti. Saya ya ikut saja. Pengakuan, dari tadi saya memang kesal saran saya tidak ditanggapi oleh Bang Deka. Karena bukannya Sombong, jam terbang saya memang lebih lama daripada dia. Meskipun dia senior saya. Anda dalam posisi saya pasti juga kesal.

“Ayo mulai!?”

Saya diam saja. Juga menunggu serangan pertama. Saya sudah mengantisipasi kemungkinan terburuk. Bener-bener berantem. Saya coba mengingat-ingat adegan berkelahi Jackie Chan, Jet Li, atau artis-artis mandarin lain yang biasa saya tonton.

Tiba-tiba Bang deka menyeringai dan menggeleng-geleng. Saya sudah cemas itu kesurupan. Ternyata nggak, dia masih bisa ngomong. “Nggak bisa. Ini ada yang menghalangi kita buat berantem. Ada tamengnya.”

Herannya saya juga merasa begitu. Saya merasa yang saya hadapi ini bukan musuh tapi abang saya sendiri. Akhirnya dua batang rokok yang berbicara. Alih-alih adu jotos, kami merokok bersama. Sampai jam 3 pagi kami ngobrol membicarakan segala. Mulai sejak itu saya semakin menyadari bahwa permasalahan bisa diselesaikan dengan cara damai, dengan mengkomunikasikannya dengan baik. Karena benar kata pepatah bahwa dalam berantem itu “kalah jadi abu, menang jadi arang.” Dan benar juga kata pendaki pertama everest, Sir Edmund Hillary, “It’s not the mountain we conquer, but ourselves.”

23 pemikiran pada “Selinting Rokok di Sindoro (1)

  1. (maaf) izin mengamankan KEDUA dulu. Boleh kan?!
    kalau emang hanya ada dua linting, kita bertiga kan bisa saling merebutkannya biar berantemnya jadi. Malah main seruuuuuu.
    Wekekekekek

  2. Wowwww, foto sindoro-nya kerrreeeeennn!!!

    bundo setuju bila masalah selalu bisa dipecahkan dengan cara damai, tapi bila harus mengikutkan urusan linting melinting rokok? huhhh! lainkali ada rambu di hutan : Dilarang Melinting 😈

  3. wahh sob klo situasinya riweuh gituuh,
    mndingan ngalah deh
    berantem juga gk nyelesain masalah kan..setuju dngn cara damai^^
    menang jadi abu..WoozzzZZ^^

  4. “It’s not the mountain we conquer, but ourselves.”

    Zephyr Likes This.

    berdasarkan pengalaman pribadi, adakalanya kita begitu emosional(dengan berbagai alasan yang sepele, dan kadang ga jelas) saat pendakian.

  5. mantap.. jadi terasa 4 tahun yang lalu,,, bagaimana indahnya sindoro, bagaimana dinginnya sumbing, dan bagaimana nyenyaknya tidur di merbabu dan bersenda gurau di merapi

    salam untuk anda yang sedang menunaikan tugas yang mulia

  6. weh, seru banget!
    inilah sisi positif rokok yang nggak ditulis dalam kemasannya: “rokok dapat mencegah anda dari babak-belur karena dijotos senior”.

    aku suka ceritanya, dri. kamu memang penuh talenta deh. jarang tau anak pecinta alam yang doyan membaca dan jago cerita lho!

Tinggalkan komentar