Pontianak

Meskipun belum mengalami kemajuan yang signifikan dalam dunia perkuliahan, tahun 2010 memberikan banyak pengalaman baru bagi saya. Pertengahan tahun Macan kemarin saya berkesempatan menjelajahi belahan barat Kalimantan.

Pesona yang menaungi Kalimantan Barat membuat saya jatuh cinta padanya pada pandangan pertama, bahkan sebelum saya sempat menapakkan kaki di “Bumi Khatulistiwa”. Dari udara saya berdecak kagum akan pesisirnya yang elok, hutannya yang rimbun dan seolah tanpa ujung, dan tentu saja sungai kapuasnya yang besar, coklat, dan berliku-liku.

Dua bulan saya di sana tentunya banyak sekali yang bisa saya ceritakan. Supaya enak, ceritanya akan saya awali dengan ibu kotanya; Pontianak.

Kesultanan Kadriah

Syahdan, di zaman dahulu kala di Pontianak hanya ada hutan dan Sungai Kapuas. Belum begitu banyak permukiman seperti sekarang. Populasi manusia pun bertanding-tanding dengan Kuntilanak. Suatu ketika datanglah empat orang sakti dari Arab, para pelopor beberapa Kesultanan Islam di Nusantara. Dengan ilmunya, mereka mampu mengusir Kuntilanak.

Kemudian seseorang diantaranya memutuskan untuk membangun kesultanan di daerah yang sekarang dikenal sebagai Pontianak. Sebuah meriam menjadi penentu lokasi istana yang akan dibangun; di mana proyektilnya jatuh, di kawasan itulah pusat kerajaan akan didirikan. Meriam pun ditembakkan dan tepat di tempat jatuhnya dibangun masjid raya bernama Masjid Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie. Jatuhnya proyektil meriam menjadi saksi bisu berdirinya Kesultanan Al-Kadriah, Pontianak. Kelak di masa depan salahsatu rajanya, Sultan Hamid II, menjadi tokoh penting BFO, persekutuan negara-negara boneka buatan Belanda.

Kesultanan Kadriah terletak tepat di sisi Sungai Kapuas. Pada malam hari, dari Jembatan Kapuas lampu sorot membuat kubah lancip Masjid Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie tampak berpendar, memantulkannya ke sungai kapuas yang lebar dan tenang.

Keraton Kadriah terletak hanya beberapa ratus meter dari percabangan Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Jika diamati, Kota Pontianak seolah-olah memang “berasal” dari Keraton Kadriah. Bermula dari keraton, kota kemudian berkembang mengelilinginya. Maka tidak heran kalau pelabuhan barang dan penumpang, kodim, taman kota, dan pasar berada di sekitar Keraton Kadriah, di seberang Sungai Kapuas.

Menurut penuturan seorang kawan yang tumbuh di Pontianak, kawasan Al-Kadriah sekarang adalah ghetto­­-nya Pontianak. Gosip-gosipnya, sih, merupakan pusat peredaran narkoba di Pontianak. Mudah-mudahan itu memang hanya gosip.

Salahsatu aktivitas yang sayang untuk dilewatkan adalah menyusuri Sungai Kapuas dengan perahu motor di sore hari, mengintip kehidupan sehari-hari orang-orang yang bermukim di tepi sungai. Cukup dengan membayar 75 ribu untuk sebuah perahu yang mampu memuat sekitar sepuluh orang, anda akan dibawa berperahu ke bawah Jembatan Kapuas, kemudian berbalik arah ke kodim, dan berakhir kembali di Keraton Al-Kadriah. Beruntung ketika di saya di sana dulu penduduk bantaran Kapuas sedang sibuk-sibuknya menyiapkan meriam legum untuk festival. Jadi meskipun tidak sempat menyaksikan langsung festivalnya, saya masih bisa mendengar debuman dahsyat meriam-meriam dengan diameter sebesar pohon sawit itu.

Menurut mitos yang dipercaya, orang-orang yang sempat mencuci muka dengan air Sungai Kapuas suatu saat akan kembali lagi ke sana.

Tugu Khatulistiwa

Pontianak berada tepat di garis lintang nol derajat. Sebagai penanda, di pinggiran Kota Pontianak yang tepat* berada di garis ekuator dibangun Tugu Khatulistiwa. Untuk mengerti sejarah dibangunnya monumen ini, kita harus kembali ke masa lalu. Jauh ke masa Belanda masih berkuasa di Nusantara.

Tugu khatulistiwa pertama kali dibangun pada tahun 1928, setelah sebuah ekspedisi internasional yang dipimpin oleh seorang ahli geografi berkebangsaan Belanda melakukan penentuan titik garis ekuator. Bentuknya masih sangat sederhana, hanya berupa tonggak dengan anak panah. Dalam perkembangannya Tugu Khatulistiwa mengalami banyak renovasi antara lain tahun 1930, 1938, dan mencapai bentuknya yang sekarang pada renovasi tahun 1990.

Dari pusat Kota Pontianak, ada dua alternatif jalur ke Tugu Khatulistiwa. Pertama anda bisa lewat Jembatan Kapuas dan Jembatan Landak. Lama. Apalagi sore-sore ketika lalu-lintas sedang padat-padatnya.

Cara kedua adalah dengan menumpang ferry dari pelabuhan, yang terletak di seberang kodim, ke Siantan. Dari Siantan tinggal berkendara sedikit ke arah Mempawah anda akan tiba di Tugu Khatulistiwa. Tidak perlu khawatir tidak bisa menemukannya. Sebuah monumen replika raksasa dibangun di atas gedung yang menaungi Tugu Khatulistiwa asli, yang ternyata tingginya hanya beberapa meter.

Di dalam monumen, selain Tugu Khatulistiwa, terdapat banyak foto dan tulisan yang menjelaskan riwayat pembangunan tugu itu. Selain itu juga ada beberapa poster yang menjelaskan tentang medan gravitasi serta hal-hal ilmiah lain yang berhubungan dengan garis lintang nol derajat (seperti fakta menarik bahwa setiap tengah hari tanggal 21-23 Maret dan 21-23 September, benda-benda akan kehilangan bayangan karena matahari berada tepat di atas kepala). Bea masuk ke monumen ini tidak ditentukan. Anda hanya cukup mengisi buku tamu dan memberikan donasi seikhlasnya.

Rumah Betang

Anda memang tidak akan bisa menemukan Rumah Betang, rumah adat Suku Dayak, yang asli di sekitar Pontianak. Kabarnya rumah betang hanya akan ditemukan di rimba raya Landak, Sanggau, dan Kapuas Hulu sana. Tapi anda tidak perlu bersedih karena replikanya ada di Pontianak.

Rumah Betang didirikan memanjang dan dibagi menjadi banyak ruangan. Sengaja dibuat tinggi seperti rumah panggung. Uniknya, rumah panjang didiami oleh banyak keluarga. Ini yang membuat saya penasaran sebenarnya; bagaimana kehidupan di Rumah Betang? Menurut saya, hidup ramai-ramai dengan satu kaum dalam satu rumah besar adalah hal yang menakjubkan.

Tapi jangan harap anda akan menemukan kehidupan Dayak asli di Rumah Betang yang saya maksud. Rumah Betang di Jl. Sutoyo ini lebih banyak difungsikan sebagai tempat mengapresiasi budaya, sejarah, maupun seni yang berhubungan dengan Suku Dayak. Dua kali ke sana, dua kali pula saya menenemukan sekumpulan anak muda yang sedang berlatih tari. Agak-agaknya memang untuk ditampilkan.

Pisang Pontianak Jl. Gajah Mada

Jangan mengaku pernah ke Pontianak jika belum mengecap Pisang Pontianak. Pisangnya besar-besar, dipotong dan dipipihkan sedemikan rupa, digoreng dengan tepung sampai berbunyi “kriuk-kriuk” ketika dimakan. Pisang Pontianak disajikan dalam bentuk sudah dipotong-potong seperti Martabak Mesir. Agar lebih nikmat, di atasnya diberi susu kental manis.

Kedai Pisang Pontianak paling terkenal terletak di Jl. Gajah Mada. Pergilah ke Jl. Gadjah Mada malam hari, anda akan dengan mudah menemukan kedainya yang selalu ramai oleh pengunjung. Pengunjungnya tumpah ruah sampai ke parkiran. Selain Pisang Pontianak, kedai itu juga menyediakan berbagai macam minuman. Mulai dari yang ringan-ringan seperi kopi, sampai yang berat-berat seperti bir.

Gaya “lesehan” kurang populer di Pontianak. Semua orang duduk di atas bangku yang mengelilingi meja yang disebar di segala penjuru. Semua kalangan berkumpul di sana. Mulai dari anak kuliahan sampai bapak-bapak tua yang bernostalgia dengan kawan-kawan lama.

Jalan Gajah Mada memang dikenal sebagai tempat nongki-nongki muda-mudi Pontianak. Jika sempat bermain-main ke sana, sempatkanlah untuk merasakan malam di Gajah Mada.

Berburu Oleh-Oleh di PSP

Pusat oleh-oleh Pontianak terletak di Jl. Pattimura dan entah kenapa dikenal sebagai PSP. Di sana kios-kios kecil penjual oleh-oleh berjejeran dengan rapi, memajang dagangan khas masing-masing.

Di sini dijual bermacam-macam batu alam, kerajinan, kaos, dan makanan khas Kalimantan Barat.

Oleh-oleh makanan khas Pontianak yang paling menarik perhatian saya adalah Lidah Buaya (Aloe vera). Wujudnya seperti nata de coco. Baru di sini saya menemukan olahan Lidah Buaya yang bisa dimakan. Di Padang, tempat saya dibesarkan, Lidah Buaya lazimnya dioleskan ke rambut agar tumbuh subur dan indah.

Soal harga anda harus pintar-pintar menawar. Sebaiknya ajaklah kawan asli sana untuk berbelanja. Harganya bisa naik drastis jika yang menawar adalah orang asing dengan logat yang asing pula.[]

*Sebenarnya setelah dilakukan pengukuran ulang, posisi lintang nol derajat terletak beberapa meter di sebelah monumen khatulistiwa.

10 pemikiran pada “Pontianak

  1. (Maaf) izin mengamankan PERTAMAX dulu. Boleh, kan?!
    Yups, setelah dilakukan pengukuranulang oleh BPPT memang letak tugu khatulistiwa selisih dan melenceng sejauh 100-an meter

  2. Efek fotonya bagus, Shige… 🙂

    Jadi, penamaan Pontianak itu karena dulunya di sana menjadi sarang Kuntilanak, begitu? hihihi…. serem… 🙂

    Ditunggu kisah-kisah selanjutnya Shige

  3. asik nih kalo bisa jalan-jalan ke pontianak. benasaran sama PSP, soalnya kalo diliat di foto kok mirip kayak pasar di bali ya. hehe

  4. asik nih kalo bisa jalan-jalan ke pontianak. benasaran sama PSP, soalnya kalo diliat di foto kok mirip kayak pasar di bali ya. hehe.

    maaf tadi lupa isi link.

  5. @alamendah: tapi tetep gak mengurangi nilai tugu khatulistiwa yang sekarang bro. 😀

    @vizon: kurang lebih begitulah, uda. ngeri juga sih, tapi menarik. 😀

    @pink: mudah2an keinginannya jalan ke pontianak bisa tercapai. amin. 😀

  6. @perez: thanks ya. lumayan seneng juga sih. 😀

    @like: aku belum pernah ke maimun. 😀

    @rio praditia: 2 bulan di kalimantan lumayan lah udah keliling-keliling. 😀
    tapi karena dibarengi kegiatan lain, 2 bulan masih terasa sebentar. masih banyak yang belum dijelajahi. Taman Nasional Danau Sentarum misalnya (sebenernya sih gara-gara biaya transport ke sana belum bisa diafford kantong mahasiswa kek saya). 😀

    itu fish-eye editan photoscape. 😀

Tinggalkan Balasan ke morishige Batalkan balasan