Kathmandu dari Ketinggian

Saya baru bangun. Entah jam berapa, sudah siang yang jelas, tapi hawa masih bikin menggigil meskipun pendingin-ruangan kamar itu tak menyala.

Ketika saya baru saja berhasil membebaskan diri dari kehangatan selimut tebal, sang pemilik hostel muncul dari balik pintu.

“Mohon maaf, Brother,” ujarnya.

Gerangan apa yang membuatnya minta maaf?

“Tuan yang tidur di dipan itu rupanya sudah memesan tempat tidur di bawah. Tapi kami beri dia tempat di atas,” ia bicara dengan nada menyesal. “Apakah kamu bersedia pindah ke atas?”

Tuan yang ia maksud adalah pelancong tua yang semalam berbincang dengannya di atas Everest. Dipannya sederet dengan Ezek, menempel ke dinding kamar mandi. Bagi manusia seusianya, aktivitas seperti naik-tangga memang bukan perkara sepele.

“OK. Tak masalah, Dai,” jawab saya. Sejak mengobrol semalam saya memanggilnya “Dai.” Itu adalah kata ganti untuk “kakak laki-laki” dalam bahasa Nepal.

Saya kemasi barang-barang di dipan lalu saya pindahkan ke atas. Ransel dan lain-lain dalam loker juga saya kasih pindah ke laci yang nomornya sama dengan tempat tidur baru saya.

Kemudian saya ambil kotak rokok edisi-terbatas 100 tahun Dji Sam Soe yang sudah saya isi ulang dengan beberapa batang Surya. Saya bawa ke atas Everest. Udara dingin menyergap begitu saya tiba di ruang-bersama itu. Sebuah bangku saya tarik, sebatang Surya saya sulut, lalu duduk santai saya menikmati kretek filter dan siang Kathmandu. Halimun masih mengambang tipis-tipis. Awan menggumpal-gumpal di cakrawala seperti bulu tebal biri-biri—ah, saya lupa awan seperti itu disebut apa! Gurat-gurat garis pegunungan tampak samar-samar.

Ezek muncul. Sudah bangun ia rupanya. Dikeluarkannya papir dan tembakau, dicampurnya dengan cokelat, lalu dinikmatinya kedamaian siang itu. Lintingan berpindah-pindah tangan. Asapnya menguar ke atas, melewati sela-sela bendera doa, menjadi awan, barangkali dihisap kawanan gagak hitam dan elang-elang penyendiri yang merajai langit Lembah Kathmandu.

Di bukit sana, puncak emas stupa Swayambunath tak berdaya menerima terpaan cahaya perak matahari.

“Ke sana, yuk?” ajak Ezek.

“Sarapan dulu kita,” balas saya.

Kami kembali ke tangga sempit itu, mampir sebentar di kamar K2, lalu meliuk-liuk turun. Bunyi derap kaki memantul-mantul di dinding. Saya di depan. Kami keluar lewat pintu kaca Rambler kemudian menelusuri Paknajol Marg dan jalanan sempit Thamel. Mulai terbiasa saya dengan lorong-lorong Thamel, dengan mobil-mobil kecilnya dan motor-motor Royal Enfield besar yang menderu meninggalkan kepulan debu. Kami pun tiba di perempatan kemarin. Dari sana, restoran tempat kami makan dal bhat semalam sudah selemparan batu.

“Ingatanmu bagus juga,” ujar Ezek. Entahlah. Saya cuma mengikuti insting—dan insting membawa saya ke sana.

Restoran itu tak seramai tadi malam, barangkali karena sudah menjelang siang; terlalu telat untuk sarapan, terlalu dini untuk makan siang. Saya pesan dal bhat dan teh susu hangat. Sebagai pelengkap, saya minta dibikinkan aloo paratha.

Menuju Swayambunath

Dengan perut penuh dal bhat kami berjalan di trotoar Swayambunath Marg. Suasana jalan itu seperti pasar-pasar di kota-kota perlintasan kecil di Sumatera—lawas dan berdebu. Keringat mulai bergulir dari pelipis. Badan saya mulai hangat, mulai gerah. Kemeja flanel saya lepas. Kaus Quiksilver “Chicken of the Sea” yang saya pakai mulai basah.

Saya berjalan bersama Ezek melintasi jembatan yang mengangkangi Sungai Bishnumati yang gelap dan kotor. Swayambunath sudah tampak di puncak bukit sana. Sedari jembatan, jalan mulai menanjak. Di sebuah belokan, kami melipir dari jalan aspal dan mendaki tangga. Jalan buntu ternyata. Kami tiba di sederet bangunan yang entah baru saja dibangun atau sedang direhab. Ada satu-dua orang sedang bekerja di dalam.

“Istirahat dulu, yuk?” ajak Ezek.

Kami duduk di selesar bangunan itu. Ezek mengeluarkan papir, tembakau, dan cokelatnya, lalu mulai melinting. Aroma pekat itu bikin saya berdebar-debar. Saat kami sedang bersantai, seseorang keluar dari bangunan itu. Sambil menstarter sepeda motornya, ia mengamati kami. Mungkin ia mengenali aroma itu. Saya mengangguk dan tersenyum. Ia membalasnya dengan anggukan dan senyuman juga, kemudian berlalu.

Selinting habis, kami kembali jalan kaki. Karena tak menemukan jalan pintas, kami kembali menelusuri aspal. Tanah semakin miring. Beberapa puluh meter dari sana jalan meliuk ke kanan dan kembali melandai. Di sebelah kanan sana, dari sela-sela bangunan, Lembah Kathmandu terhampar dalam selimut tipis yang entah kabut atau debu.

>Swayambunath Marg, Kathmandu

Jalan itu sepertinya baru saja dilebarkan. Sebuah tiang listrik—yang mungkin belum sempat digeser ke pinggir—menjulang di bahu jalan sekitar satu setengah sampai dua meter dari trotoar.

Swayambunath Marg itu berakhir di sebuah pertigaan. Kami menyeberang ke pelataran luas yang berakhir di tangga terjal menuju stupa Buddha itu. Banyak orang duduk-duduk di bangku-bangku beton di pinggir undakan-undakan pertama tangga Swayambunath. Bangunan-bangunan tua dan batu-batu sakral berdiri di kanan-kiri. Banyak monyet di sana, memanjati segala yang bisa dipanjat, berinteraksi dengan wisatawan entah dari mana.

Ezek menghampiri seekor anjing berbulu hitam. Ia mengelus-elus anjing itu, anjing itu malu-malu menggerak-gerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Di sebelah sana, seekor monyet berusaha merebut kamera manusia, barangkali kesal dijadikan objek foto.

>Tangga menuju Swayambunath

Makin ke atas tangga itu kian terjal. Kami berjalan naik diawasi oleh bendera-bendera doa yang berkibar di antara dahan pepohonan. Setiap beberapa meter, orang-orang berhenti di titik-titik yang mereka rasa paling fotogenik. Rana dijepret, momen diabadikan, memori disimpan. Tangga itu makin menyempit. Dari celahnya, badan stupa putih Swayambunath mengintip.

Sekitar selusin anak tangga dari ujung atas, seorang petugas mengarahkan kami ke pos kecil di samping tangga. Rupanya itu loket tiket. Dari balik ruangan kecil itu, seorang petugas lain menanyakan dari mana kami berasal, kemudian menyobek dua lembar tiket masuk yang kami tebus dengan rupee yang nilainya tak seberapa.

Kathmandu dari ketinggian

Ezek dan saya berjalan searah jarum jam, melewati orang-orang yang memutar roda-roda doa, memapas mereka-mereka yang menghayati semesta dengan membakar lilin dan membiarkannya menyala. Barangkali begini suasananya dulu ketika Borobudur masih “hidup.”

Tapi tak hanya manusia yang bikin suasana semarak. Kawanan merpati hitam berkeliaran di sekitar struktur suci itu. Sesekali mereka beterbangan ke sana kemari. Capai, hinggap mereka di dinding stupa. Mestilah susah mencengkeramkan kaki ke permukaan stupa yang miring itu. Burung-burung yang lebih cerdik memilih hinggap di undakan-undakan atau ceruk-ceruk.

>Kuil Swayambunath, Kathmandu

Kami lalu tiba di sebuah tempat penuh stupa kecil yang di ceruk-ceruknya terukir Buddha dalam berbagai postur. Saya berjalan di lorong-lorongnya melihat peristiwa. Di balik sana ada bangunan-bangunan berarsitektur khas Nepal di mana para penjual oleh-oleh mengais rezeki dari rasa penasaran para pelancong. Kuil kecil di sebelah sana tak pernah tenang, selalu disesaki manusia-manusia yang mendamba ketenangan jiwa. Kandelir tak pernah dingin sebab lilin silih berganti dinyalakan.

>Toko oleh-oleh di sekitar stupa Swayambunath

Kemudian kami beranjak ke lorong-lorong di antara toko suvenir. Lebih lengang di sana, lebih dingin pula. Ada tangga turun yang bikin penasaran. Kami telusuri tangga itu lalu tiba di kuil kecil di pelataran dekat loket tiket. Saya berhenti lama mengamati sesuatu di lantai—prasasti barangkali. Polanya menarik: mandala. Tunggu, rasanya saya pernah lihat benda mirip ini di suatu tempat. Tapi benda apa?

Koin Nepal! Prasasti itu tampak seperti versi raksasa dari koin Nepal yang saya dapat di Sabang.

Kembali kami menaiki undakan menuju stupa. Di pagar seng, seekor induk monyet sabar sekali menggendong anaknya, seperti sedang berakrobat. Di sebuah pelataran kecil, orang-orang berkumpul, entah untuk berkodak atau sekadar melihat Kathmandu dari atas, tak peduli dengan terpaan angin yang semakin dingin. Kabut sudah agak lebih tebal ketimbang tadi.

>Kota Kathmandu dilihat dari Swayambunath

Cuma sebentar kami di sana. Lewat tangga yang sama, kami turun ke Swayambunath Marg. Untuk kembali ke kota kami menempuh jalan yang berbeda. Pertama-tama, jalan itu ramai, diapit oleh ruko-ruko berfasad kayu yang banyak di antaranya sudah doyong. Semakin jauh kami melangkah, bangunan-bangunan semakin jarang. Ruko berganti jadi rumah-rumah mewah seperti vila-vila di Puncak. Kami tak tahu jalan berliku itu akan berujung di mana—mustahil pula untuk mengetahui nama jalan sebab alamat ditulis dalam aksara Hindi—tapi kami tempuh saja.

Jalan pun kembali ramai. Permukiman mewah berganti lagi jadi bangunan-bangunan ruko semenjana. Makin sempit jalan itu, sampai akhirnya kami tiba di sebuah perempatan kecil yang di salah satu pojoknya berdiri kuil. Orang-orang tua berpeci khas Nepal mengobrol di pinggir jalan. Pedagang-pedagang masih bertahan menanti pembeli. Di sebelah sana, di puncak sebuah struktur tua yang tersusun oleh batu bata merah, menjulur dahan pohon entah apa, seperti di kuil-kuil kuno Angkor Wat.

Rasa-rasanya kami sudah di Thamel lagi. Cahaya matahari kembali terhalang bangunan-bangunan setinggi lima lantai yang mengapit jalanan kecil yang kami lewati. Kami terus berjalan entah ke mana.

“Ke mana kita?” tanya Ezek.

“Ke sana, yuk?!” saya jawab sambil menujuk arah sembarang.

Di ujung jalan saya melihat sebuah bangunan putih bergaya Eropa dengan pilar-pilarnya yang megah.

Kami tiba di semacam alun-alun. Ternyata Durbar Square. Melihat kami datang, seorang petugas yang sedang berdiri di loket melambai-lambai menyuruh kami membeli tiket masuk. Tak kami hiraukan. Kami terus berjalan sampai ke dekat seutas rantai panjang yang membatasi tempat kami berdiri dan kawasan dalam Durbar Square. Perlu tiket untuk melewati pagar itu. Orang-orang bertiket masuk-keluar kawasan itu lewat bukaan kecil di beberapa titik. Di sebelah sana, becak-becak terparkir rapi. Para penariknya mengobrol sembari menunggu penumpang.

>Durbar Square, Kathmandu

Letih jalan kaki, kami mencari tempat duduk di depan sebuah bangunan. Saya keluarkan sebatang Surya, Ezek mengeluarkan papir, tembakau, dan cokelatnya. Kami mengobrol di antara asap tembakau.

“Mau masuk?” tanya Ezek.

“Nanti saja,” jawab saya. “Kita ‘kan masih lama di Nepal.”

38 pemikiran pada “Kathmandu dari Ketinggian

  1. Membaca tulisan ini membuat saya diliputi rasa iri. Saat ini, saya masih terbatas dalam pergerakan ke luar rumah soalnya wkwkwk.

    Saya selalu senang dengan tulisanmu, Mas. Selalu memberi nilai pada tempat-tempat yang digambarkan dalam cerita.

  2. Jadi membayangkan kira-kira keramaian yang Mas Mori gambarkan di atas, sekarang seperti apa ya?
    Mungkin memandang Kathmandu dari Swayambunath jadi terasa lebih kontemplatif

    1. Semestinya tahun ini ada Visit Nepal 2020, Mas Andro. Tapi awal-awal masa corona kemarin saya baca Pemerintah Nepal membatalkan program ini. Saya juga jadi penasaran bagaimana keramaian Swayambunath sekarang.

      Jika sekarang tempat ini sepi karena wabah, barangkali memang jadi lebih kontemplatif. 🙂

  3. “mau masuk? nanti saja.. kita kan masih lama..”

    ini terjadi pada saya. beberapa tempat turistik di Berlin malah belum kami kunjungi karena alasan yang sama.. 🤣

  4. Cerita kali ini cuma dengan ezek saja ya kang, tidak ada Lily dan Rhys. Jalan jalan ke kuil Swayambunath dengan jalan kaki, tentunya dengan tenaga dari dal bhat yang klaimnya bisa untuk energi 24 jam.🤣

    Ada juga merpati di Kathmandu ya, padahal hawanya dingin. Itu merpati apa burung gagak ya soalnya warnanya hitam.

    Memang kalo jalan jalan di Swayambunath mirip dengan di Borobudur ya bang Morishige, soalnya sama sama kuil.

    Kira kira besok melanjutkan perjalanan kemana ya?

    1. Memang ampuh ternyata dal bhat, Mas Agus. Rasanya kayak ngisi motor full tank. 😀

      Iya, Mas, merpati. Gagaknya juga ada.

      Mungkin karena sama-sama situs Buddha, Mas Agus, jadinya mirip satu sama lain.

      Monggo dinantikan postingan selanjutnya, Mas. 🙂

  5. Melihat lansekap rumah yang terabadikan dari atas, aku jadi ingat dengan destinasi yang lagi ramai di Magelang mas, katanya Nepal Van Java. Lokasinya di Kaliangkrik. Entahlah, siapa yang awalnya menyematkan itu.

    1. Daerah-daerah pegunungan di Magelang, Temanggung, Wonosobo kalau dilihat-lihat memang mirip wilayah pedesaan Nepal, Mas Sitam. Kayaknya dulu waktu kuliah saya pernah lihat postingan soal Wonosobo yang dibandingkan sama Nepal juga.

  6. Melihat Kathmandu dari atas, ternyata semua looks bangunan mirip semua, seperti sebuah miniatur perkotaan tapi tentunya ini sudah real.
    Eniwei Mas, Ezek bawa cokelat terus, apa di sana tidak ada razia kayak di sini gitu lho.

  7. Mas Morishige, holaaaa 😍

    Foto perjalanannya dramatic, sukaaa. Hehehe. Salah satu tempat favorit saya itu Swayambunath. Mungkin karena saya nggak ke gunung, jadi selama liburan, beberapa kali bolak-balik area sana 😂 sempat kaget karena ternyata Nepal itu pernah terkena gempa lumayan besar, yah? Saya baru tau nggak lama setelahnya.

    By the way, si Ezek kocak ughaa hahaha. Seru banget mas bisa ketemu travelmate yang cocok, padahal awalnya stranger. Dari situ bisa dapat banyak cerita pengalaman yang mas rasakan 😆

    Kira-kira Ezek ke Yogya nggak, yah? Hahahahaha 😂

    1. Iya, Mbak Eno. Tahun 2015 Nepal pernah kena gempa besar. Kalau nggak salah ada beberapa pendaki yang sampai mesti bertahan berhari-hari di gunung.

      Waktu jalan-jalan, rasanya cepat banget stranger jadi teman, Mbak. 😀 Mungkin karena sama-sama sedang jadi musafir, jadi lebih cepat akrab. 🙂

      Hehehe… Kira-kira gimana, Mbak? 😀

  8. Kuil yang masih “hidup”, masih sama peruntukannya saat dibangun dulu…

    Si ezek-ezek nyoklat dimana-mana, euy, gak sopan 😀
    Ngekek lihat tiang listrik di badan jalan, sing gawe dalan gak mau repot kayaknya… 😀

    1. Jadi penasaran sendiri, sih, Mas Grubs, gimana suasana Borobodur zaman dulu, sebelum orang mesti beli tiket untuk masuk. 😀

      Hahaha… Yang penting nggak ngamplengi wong, Mas Grubs. 😀

      Nggak kebayang kalau jalanan itu diperbesar. Lucu aja kalau nanti ada tiang listrik di tengah jalan. 😀

  9. Eh kenapa nggak masuk ke Durbar Square mas?
    Btw, aku tergelitik dengan kalimat ‘ketika Borobudur masih ‘hidup”. Apakah ‘hidup’ yang dimaksud adalah saat Borobudur digunakan untuk beribadah, sehingga ada banyak lantunan doa dan ritual kepercayaan di sana? Sekarang Borobudur juga masih digunakan sebagai tempat suci. Coba datang ke Borobudur jam pagi, nanti kamu akan menemukan biksu dan banyak orang yang sedang berbincang,, mungkin kalau di agama lain sedang mendengarkan khotbah. Tapi ya,, mungkin jumlahnya nggak sebanyak umat yang kamu ceritakan di Swayambunath

    1. Karena merasa masih bakal lama di Nepal, Mbak. Disimpan buat pas mau pulang aja. 🙂

      Suasana spiritual di Swayambunath saya rasakan kental banget, Mbak. Sebanyak itu wisatawan, sebanyak itu pula yang beribadah, entah di stupa Buddha atau kuil Hindunya. (Mungkin karena Hindu dan Buddha agama besar di Nepal.) Waktu menulis “ketika Borobudur masih ‘hidup'” itu, saya membayangkan suasana Borobudur waktu Buddha jadi agama yang dianut banyak orang, ketika fungsi utamanya memang masih untuk beribadah, saat orang-orang sekitar, barangkali, beribadah ke Borobudur seperti beribadah ke tempat-tempat ibadah agama resmi di Indonesia seperti sekarang.

Tinggalkan Balasan ke morishige Batalkan balasan