Langkah (42): Madura, Lebih Panas Daripada Surabaya

Jika ada yang bilang kota terpanas di gugusan Jawa-Madura adalah Surabaya, berarti orang itu belum pernah menginjakkan kaki di pulau garam, Madura.

Tanggal 3 Februari malam kami tiba kembali di Surabaya tanpa mengalami hambatan berarti selama perjalanan. Perjalanan pulang mengambil rute yang berbeda dari keberangkatan. Jika ketika berangkat kami lewat Jember, untuk pulang kami memilih lewat Situbondo.

Menakjubkan. Banyuwangi-Surabaya via Situbondo dua kali lebih cepat daripada via Jember. Dan menariknya jika lewat Situbondo anda akan melewati pantai-pantai indah sepanjang Banyuwangi, hutan lebat penuh pepohonan tinggi Taman Nasional Baluran, dan PLTU Paiton yang megah. Kebetulan kami melewati Paiton sore hari, tepat ketika para buruh PLTU bubaran dan pulang ke kediaman masing-masing.

Jam sembilan malam kami tiba di Surabaya dengan perut keroncongan. Maklum, terakhir kali hanya diisi kopi yang dihidangkan secara gratis di sebuah SPBU kota Probolinggo. Jadi sebelum bertolak ke kontrakan Eko di daerah Ngagel, kami ke rumah makan dulu. Nama rumah makannya Surya Gemilang, terkenal sebagai ampera (warung makan sederhana khas Minang) yang cuma buka di malam hari. Menu andalannya adalah Nasi dan Mie Goreng, Soto, dan Sate Padang. Selain itu Surya Gemilang juga menjual Nasi Padang biasa. Mungkin karena masakannya yang lezat, Surya Gemilang pernah diliput sebuah koran lokal Surabaya. Halaman koran berisi liputan itu digantungkan dengan bangga di dinding rumah makan.

Malam itu kami tidur nyenyak dengan perut yang terisi penuh. Omong-omong, selama perjalanan ini kami sama sekali tidak mengeluarkan uang untuk penginapan. Malam pertama di Surabaya kami menginap di sini juga, di rumah eko. Malam kedua di sebuah SPBU Banyuwangi. Kemudian malam ketiga dan kelima kami menumpang tidur di rumah paman Pak Tua di Narmada, Lombok Barat. Malam keempat, tahu sendiri lah, kami cuma leren-leren beralaskan pasir dan beratapkan bintang di pinggir pantai timur Gili Trawangan. Yang paling mewah adalah malam keenam, ketujuh, dan kedelapan; di kamar Bli Gede yang ber-AC. :mrgreen:

Tanggal 4 Februari tengah hari – sebenarnya kami bangun pagi sekitar jam sembilan, jam berangkatnya saja yang terus-menerus diundur – kami berangkat ke Suramadu, jembatan kebanggaan bangsa yang menghubungkan Surabaya dan Pulau Madura. Dari kenjeran kami terus ke melaju sampai tiba di gerbang tol Suramadu. Cukup dengan membayar IDR 3,000 petugas tol sudah mengangkat portal dan mengizinkan kami melaju di atas jembatan.

Yang membuat pengendara nyaman adalah jalur motor dan mobil dipisahkan. Mungkin karena saat itu hari kamis, bukan hari libur, Suramadu lengang sekali. Seingat saya hanya satu-dua motor yang memapas. Karena sepi, sebenarnya saat itu adalah waktu yang tepat jika ingin berhenti seenaknya untuk berfoto-foto di tengah jembatan, di ruas-ruas jalan yang diberi tanda huruf P dicoret. Tapi kenyataannya kami tidak berhenti. Mungkin karena sudah diperlihatkan betapa chaos-nya kondisi lalu lintas di Mataram karena kebanyakan pengendara tidak mengindahkan peraturan, kami jadi sadar betapa bergunanya sebuah peraturan dan ogah berhenti di tempat yang dilarang.

Kurang dari lima belas menit kami sudah tiba di seberang, Pulau Madura. Kedatangan kami disambut gapura berbaliho besar bertuliskan “Selamat Datang di Wilayah Kami.” Poster yang membuat saya tertawa simpul karena seolah-olah masuk wilayah preman terminal. Tidak bisakah bahasanya diperhalus menjadi “Selamat Datang di Pulau Madura”?

Selepas dari gapura, hawa panas semakin menjadi-jadi. Panas Madura menusuk. Surabaya memang panas tapi tidak cukup intens untuk membuat kulit saya meranggas. Panas kota Padang memang menyengat. Namun semenyengat-semenyengatnya efek yang ditimbulkan paling hanya keluarnya keringat secara berlebihan. Kalau panas Madura lain; begitu menusuk. Mungkin karena wilayah yang ditumbuhi pepohonan tinggi dan rimbun sangat sedikit kali, ya?

Di kanan-kiri jalan berjejeran payung-payung kain besar dan kios pedagang. Ada yang menjual makanan-minuman, ada pula kios yang menjual baju-baju bertuliskan Madura serta kaos strip merah-putih khas madura.

Kami memacu motor semakin ke dalam daratan Madura. Yang terlihat hanya hamparan dataran luas yang datar dan meranggas. Di samping jalan kadang-kadang terlihat wanita petani bercaping menggarap ladang yang gersang dengan sia-sia. Surabaya dan Madura seperti dua dunia yang berbeda. Surabaya begitu semarak. Penuh bangunan megah dan orang serta kendaraan yang berlalu lalang. Madura begitu sepi, mungkin malah seperti Surabaya dahulu kala. Luas namun belum tergarap dengan maksimal. Mudah-mudahan Suramadu bisa menjadi katalisator pembangunan bagi pulau garam, pulau indah yang dihuni wanita-wanita perkasa dan lelaki-lelaki pemberani yang tidak segan-segan melakukan carok demi mempertahankan harga diri.[]

35 pemikiran pada “Langkah (42): Madura, Lebih Panas Daripada Surabaya

  1. Wuiiiiihhh….salut dengan prinsipnya untuk selalu mentaati peraturan. Kalau saya mungkin sudah narsis-narsis disana :p hahaha, benar2 bukan warga negara yg baik yaaa….

    Hhhmm…berhubung belum pernah menjelajah sejauh itu, yg saya tau cuma “Semarang itu panas banget”, gmn klo mampir ke Madura ya, bisa semaput saya 😀

  2. Weleh.. kesimpulan saya sama tuh, bahwa Surabaya itu kota paling panas di Jawa. Ternyata Madura lebih panas yak. Hmm nanti kalo ada dinas ke sana, tak cobain ah panas yang begitu menusuk ala bro shige 😀

  3. Madura panas menusuk ? Duh di Purwokerto dan Semarang saja sudah bingung dan mandi 3 kali sehari minum es terus saking panasnya lha kalau ke Madura bisa mandi 4 kali sehari dan bawa termos es terus…he..he. Aku tidak tahan panas, suka yg dingin-dingin seperti di Dieng. Kapan Shige berpetualang ke Dieng? Ditunggu tulisan ttg Dieng…jendelakatatiti.wordpress.com. O, ya link kupasang lho di blogku!

  4. wahaha…. lewat blog-mu akhirnya diriku bisa melihat suramadu dari deket 😛 eh, pernah ke taman nasional baluran belum? setau saya, itu lokasi yang paling panas di Jawa 😐

    btw,

    Kedatangan kami disambut gapura berbaliho besar bertuliskan “Selamat Datang di Wilayah Kami

    😆 😆 😆

    pengen juga foto2 pas ditengah2 jembatan itu, masbrur 😛

  5. @merry go round: lagi kumat aja sih sebenernya taatnya. 😀

    hehe… parahnya, gedung bertingkat ber-AC di madura kan jarang juga ya.. kalo di jakarta atau surabaya masih bisa ngadem di mall. 😀

    @felicity: kalo pake helm racing yang full face sih pasti sumuk sekali, kami sih cuma pake helm full face biasa. :mrgreen:

    @okkots: nggak keliling kok bro, cuma sampe sekitaran Suramadu aja. kemarin mau diterusin takut kemalaman karena masih ada rencana lagi malemnya. 😀

    @cipu: oh, ya? wow.. keren tuh. kalo mau shalat nggak perlu repot2. 😀

    @indra1082: selagi masih diberi banyak waktu luang bro. kalo tanggung jawab di pundak udah banyak, susah juga keknya nyari waktu luang. 😀 paling cuma bisa jalan waktu akhir pekan. 😀

    @annosmile: oh jadi begitu ya, bro? pantes aja madura lebih panas dari surabaya. :mrgreen: kalo mau touring pake motor ke sana, kalo diajak saya mau banget ikut lagi. ngiterin madura sepuasnya. 😀

    @dhodie: hahaha.. feel free to try, masbro. saya tunggu deh FRnya ntar. tapi pastinya keliling2nya jangan pake mobil full-AC lho. :mrgreen:

    @agung pushandaka: keknya yang banyak orang berjualan “sate” deh bro. tanpa ada embel2 “madura”nya. :mrgreen:

    @dian: saya tunggu reportnya. hehehe…

    @jendelakatatiti: ayo mbak kapan-kapan main aja ke sana. 😀
    ke dieng saya belum pernah mbak. pengen banget sih ke sana tapi belum dapet aja momennya. 😀

    trims ya udah dilink, saya link-balik ya? 😀

    @zon: biasa aja bro. :mrgreen:

    @venus: kalo begitu….. lebaran tahun depan aja mbok. hehe.. :mrgreen:

    @kurotsuchi: kemarin waktu pulang saya lewat TN Baluran bro. fyi, jalan Banyuwangi – Probolinggo via Situbondo lewat jalan yang membelah TN Baluran. keknya rasanya lebih panas Madura deh kemarin itu. soalnya TN Baluran letaknya kan agak-agak tinggi gitu, pepohonannya lumayan rimbun, dan bahkan punya gunung.

    @abula: mudah2an harapannya terkabulkan bro. 😀

    @zam: buset! nggak kebayang tuh kang panasnya Sumenep kayak apa. :mrgreen: Bangkalan aja udah kering kerontang gitu, pohon-pohon tinggi jarang.

    Keknya Madura ini lebih cocok dijadiin daerah satelitnya SBY deh. buat lahan pabrik gitu…

  6. Mantap, kawan. Laporan perjalanannya yahud.
    Di Padang sa angek-angeknyo indak mambuek kulik itam do. Kalau di Madura indak itam lai do, tapi kaliang hehehe…

  7. saya sudah hampir empat kali melewati suramadu, mas moris. jembatan terpanjang di asia itu memang terkesan kuat dan kokoh. perasaan, madura memang bener, jauh lebih panas ketimbang surabaya, pernah merasakan sengatan matahari di bangkalan.

  8. @alrisblog: sabananyo kalau ambo pribadi ndak peduli ka kaliang atau ka indak do, sanak. aslinyo lah kaliang juo. :mrgreen:

    trims y dah mampir. :mrgreen:

    @sawali tuhusetya: iya pak, panas banget. kata mas zam juga… dan katanya daerah timur madura lebih panas lagi. :mrgreen:

    @diazhandsome: saya tunggu deh field report di blognya. 😀

  9. tulisan selamat datang itu memang yahud shige, ngakak saya membacanya, hahaha… benar-benar deh tu pemda madura 😀

    suatu saat saya akan ke madura ah, mau membuktikan apakah benar yang shige katakan; madura lebih panas dari surabaya… 😀

  10. karena belum pernah menginjakkan kaki di madura, maka aku nggak tau kebenaran kata-katamu. *halah* tapi biar panas, aku ingin bisa mengunjungi pulau itu barang sekali seumur hidup.

    tapi aku pernah sih memandangi jembatan suramadu dari atas ketinggian pesawat yang akan mendarat. indah!

  11. Madura emang panas… 😦 >.<'

    Hey, kalo mau orang yang jujur bertarung untuk harga diri, itu adalah orang Bugis, saya akui. 🙂

  12. Madura? Wah, jd inget ma mantan Q nich di Sumenep… Orang madura terkenal relijius, agak keras dan arogan…
    Whatever…
    Madura tetaplah madura,.

Tinggalkan komentar