Kawah Ijen 650 KM

Kamis tengah hari, awal Februari. Akhirnya saya dan Obi sampai juga di bibir Kawah Ijen, perbatasan Banyuwangi-Bondowoso, Jawa Timur. Kak Mey dan Asep masih jauh di bawah. Kabut dingin dan asap belerang seperti bahu membahu bersekutu menyembunyikan keindahan Danau Kawah Ijen yang berwarna biru toska itu dari pandangan.

“Tidak bisa turun  ke kawah, Dek,” ujar salah seorang penambang ketika tadi berpapasan di tikungan terakhir. “Asap belirangnya terlalu tebal.”

Peringatan dari penambang itu tidak saya hiraukan. Bukan apa-apa, kami sudah menempuh perjalanan jauh dari Jogja. Sekedar kabut dan asap belerang tebal tidak akan mampu menghalangi keinginan kami untuk turun, melihat Kawah Ijen dari jarak dekat.

Dari rabu pagi kami berempat sudah mati-matian bertahan di dalam salahsatu gerbong kereta api kelas ekonomi, Sri Tanjung. Perjalanan itu dimulai sekitar pukul setengah delapan dan berlangsung lama sekali, rasanya seperti tiada akhir. Dua belas jam. Selama itu kami berada di atas kereta. Berhimpit-himpitan dan berebut udara dengan ratusan orang lain. Kadang laju kereta tidak sanggup menghasilkan angin yang mampu meredam hawa panas yang berkecamuk dalam gerbong, membiarkan keringat keluar lancar dari pori-pori badan.

Ketika terang sudah berganti petang barulah kami tiba di Stasiun Karangasem, Glagah, sebuah kecamatan di pinggiran Banyuwangi. Sebelum bertolak ke Tamansari, permukiman terakhir sebelum basecamp Kawah Ijen, kami harus bermalam dulu di stasiun. Lazimnya pedesaan, angkutan umum di sini hanya beroperasi mulai dari pagi sampai sekitar pukul lima. Lebih dari waktu itu hanya ada ojek, itu pun dengan ongkos gila-gilaan.

Kamis pagi, segera setelah kereta Pandanwangi tujuan Malang bertolak dari Stasiun Karangasem, kami memulai perjalanan ke Tamansari. Pertama kami berjalan santai menyusuri rel kereta api sejauh sekitar 750 meter sampai ke Sasak Perot. Di Sasak Perot kami harus berkelit sedemikian rupa untuk menghindari tukang ojek yang menawarkan jasa, tentu saja dengan mematok tarif seenak mereka. Untuk ke Licin mereka menyebutkan ongkos Rp. 25.000/orang. Tiga kali lipat lebih ongkos angkutan desa (angdes) yang hanya Rp. 7.000/orang.

Saya bersyukur sekali ketika akhirnya ada sebuah angdes yang berhenti. Meluncurlah kami ke atas, ramai-ramai bersama para penduduk setempat yang baru pulang berbelanja di pasar pagi. Kawah Ijen masih jauh, masih sekali oper angkutan lagi. Kata bapak Nurul Anshori, sopir angdes tumpangan kami, akhir-akhir ini angkutan umum sudah berkurang karena setiap orang sudah memiliki motor sendiri-sendiri. “Dan yang punya motor bisa ngojek,” tambah Pak Nur.

Dari Tamansari, kami menumpang truk pembawa belerang selama sekitar satu jam. Menempuh jarak tujuh belas kilometer melintasi perkebunan cengkeh, kopi, dan rerimbunan hutan raya. Bersama-sama para penambang belerang, kami terguncang-guncang ketika truk kepayahan menghindari lubang di jalanan yang hancur berantakan, merunduk ketika bagian atas truk beradu dengan ranting-ranting kecil, menarik napas khawatir ketika truk menderu menaiki tanjakan terjal, dan akhirnya bersuka cita meluncur di jalanan mulus, pertanda Paltuding sudah semakin dekat.

Kami tidak berlama-lama di Paltuding. Setelah makan di warung langganan para penambang belerang dan mendaftar di kantor pengelola Kawah Ijen, kami langsung trekking ke Kawah Ijen. “3 km by foot,” begitu tertulis di Pos Paltuding.

Perlahan kami berjalan menyusuri jalan tanah lebar yang menghubungkan Paltuding-Kawah Ijen. Napas saya tersengal-sengal karena sudah lama tidak trekking. Jogging dan renang juga sudah lama tidak saya lakukan. Namun tidak begitu halnya dengan para penambang belerang. Semua penambang yang berpapasan dengan saya, baik sedang naik ataupun turun, melangkah dengan mantap. Napasnya sestabil langkahnya. Padahal mereka turun sambil memikul dua buah keranjang yang penuh oleh bongkah belerang.

Setelah sempat beristirahat sebentar di Pos Bunder, dalam waktu dua jam kami sampai di bibir kawah. Perbedaan tenaga membuat tim kami terpisah menjadi dua. Saya dan Obi di depan, Kak Mey dan Asep di belakang.

Ketika napas semakin susah dihela dan mata semakin pedas, Kak Mey dan Asep akhirnya muncul. Bersama-sama, dengan tekad yang semakin menebal karena ditempa jarak 650 km, kami turun ke kawah. Seringkali memang butuh usaha ekstra, perjalanan panjang dan tenaga, untuk menikmati suatu keindahan. Sekedar kabut dan asap belerang tebal tidak akan mampu menghalangi keinginan kami untuk turun, melihat Kawah Ijen dari jarak dekat.[]

25 pemikiran pada “Kawah Ijen 650 KM

  1. welehhh gue yang orang Jawa Timur belum kesampaian ke kawah ijen neh… bikin plan mulu tapi pas mau berangkat bubar jalan hahaha…
    *pokoknya tahun ini harus ke kawah ijen*

  2. Nyaris 20 tahun lalu terakhir kali ke Kawah Ijen. Setelah membaca tulisan ini, jadi rindu pingin ke sana lagi. Mungkin suatu hari.

  3. kawah ijen.. kenangan perjalanan yang tampak tak berakhir. jarak 3 km, kemiringan tanah hampir 45 derajat, bersama bayi dan orang tua. what a journey of mine ^_^

Tinggalkan Balasan ke hani Batalkan balasan