Epilog: Pulang

Nama Johor Bahru pertama kali saya dengar ketika sekolah dasar. Entah kelas 2 atau kelas 3, saya lupa. Pokoknya salah satu di antaranya.

Salah seorang teman sekelas—yang wajahnya mirip Maissy, penyanyi cilik yang wara-wiri di televisi Indonesia pertengahan dasawarsa 1990-an—baru saja kemalangan. Ibunya meninggal muda. Suatu hari, beberapa pekan setelah kepergian ibunya, ia dan saudaranya diboyong sang ayah ke sebuah kota di Malaysia. Nama kota itu “Johor Baru.”

Ketika akhirnya belajar soal peta dan saya punya atlas, “Johor Baru” adalah kota yang pertama kali saya cari begitu membuka halaman Malaysia Semenanjung. Saya lebih antusias mencari keberadaan “Johor Baru” ketimbang Kuala Lumpur. Lalu insyaflah saya bahwa nama kota itu bukan “Johor Baru,” tapi “Johor Bahru.” Ada huruf “h” di tengah-tengah kata kedua.

Saya edisi bocah—yang dalam pikirannya hanya ada kelereng dan sepakbola—pasti tak pernah menyangka bahwa suatu saat versi paling mutakhir dari dirinya akan benar-benar menginjakkan kaki di Johor Bahru, sekira seperempat abad kemudian.

Di balik jendela bus StarMart TBY 33 itu, Johor Bahru dan isinya—termasuk teman masa kecil saya itu barangkali—berkelebatan. Nyonya sudah tidur. Mata saya sudah terlalu malas untuk memaksimalkan fungsi daya-akomodasinya. Garis-garis di luar bergerak makin cepat. Rasanya seperti sedang menumpang mesin waktu bersama Doraemon dan kawan-kawannya. Lama-lama, pemandangan di balik jendela itu berubah menghipnotis, membuat saya segera menyusul Nyonya ke alam mimpi.

Kami terbangun ketika bus sudah masuk kawasan TBS. Lampu kabin sudah dihidupkan. Setelah meliuk-liuk sedikit, bus itu pun berhenti di salah satu peron. Kami turun, mengambil ransel-ransel di bagasi bawah, lalu naik eskalator menuju lobi terminal. Masih sekitar jam 4 pagi, masih sepi.

Ransel-ransel kami sandarkan di dinding seberang Seven Eleven, lalu kami bergantian ke kamar mandi. Untuk mengisi perut yang sedang keroncongan, kami membeli makanan instan di Seven Eleven. Sehabis makan, kami duduk bersadar ke dinding untuk meluruskan tulang belakang.

Saat duduk-duduk itu, saya teringat satu hal: saya belum mengirim kartu pos ke sahabat karib di Temanggung. Kami masih punya sisa selembar kartu pos kosong dan sebuah prangko Malaysia yang nilainya cukup untuk mengantarkan kartu pos itu ke sebuah desa di pegunungan Jawa Tengah itu.

Saya pun berkeliling TBS untuk mencari bis surat. Tidak ada. Tapi ada sebuah kantor pos kecil di salah satu sudut terminal. Sayangnya belum buka. Sepagi itu, pegawai kantor pos di mana pun pastilah masih berlindung di balik selimut masing-masing, menunggu alarm berbunyi untuk memaksa mereka memulai hari. Iseng-iseng berhadiah, saya selipkan kartu pos itu dengan menyertakan secarik catatan permohonan—pada pegawai pos yang menemukan—untuk mengirimkan kartu pos itu ke alamat yang tertera.

(Sampai catatan ini diunggah ke blog, sahabat saya itu belum menerima kartu pos yang saya kirimkan dari TBS itu. Mungkin kartu pos itu nyasar ke Zihuatanejo. Mungkin dibuang ke tong sampah oleh entah siapa. Mungkin sia-sia saja berharap hal-hal hiper-humanis seperti di film akan benar-benar terjadi di dunia nyata.)

Ketika hari sudah mulai terang dan TBS semakin ramai oleh calon penumpang yang lalu-lalang, saya melangkah ke salah satu loket dan membeli sepasang tiket Jetbus tujuan KLIA2 yang jadwal keberangkatannya paling dekat. Kata Nyonya, lebih baik datang jauh lebih cepat ketimbang telat. Saya tak punya argumen untuk menyanggahnya. Memang benar.

Dan di KLIA2 kami bisa mencari tempat menunggu yang lebih nyaman.

KLIA2

Petualangan adalah salah satu dari sedikit momen ketika “waktu” bergerak dalam tempo acak dan misterius; kadang mengerut, tak jarang mengembang, sering pula beku, berhenti, mematung seperti manusia sedang terpukau.

Tanggal 20 November 2018, hari ketika saya memulai perjalanan dengan kereta ekonomi dari Stasiun Lempuyangan ke Pasar Senen, terasa telah berlalu begitu lama meskipun sebenarnya hanya terpisah 42 hari dari kini, 1 Januari 2019, tak lebih lama dari masa KKN dulu. Barangkali karena patokannya adalah manusia, peristiwa, dan jejaring makna, alih-alih nano-detik, detik, menit, jam, hari, dan partisi-partisi waktu lain yang lazim digunakan dalam kehidupan sedentari.

Saat kami melangkah naik dari terminal bus KLIA2 ke terminal keberangkatan antarbangsa, saya merasa waktu kembali menemukan temponya semula.

Usai mencetak tiket di mesin otomatis, kami mencari tempat duduk kosong di Starbucks lalu bergantian mandi dan salin. Sambil menunggu Nyonya, saya buka buku catatan kecil untuk menuliskan fragmen-fragmen akhir dari perlawatan kali ini. Tapi, saat menulis, waktu kembali mengubah tempo. Begitu Nyonya datang mengenakan dashiki hijau yang kami beli di Bugis, sudah berhalaman-halaman catatan itu yang penuh oleh tulisan.

>KLIA2, 1 Januari 2019/dok. Nyonya

Giliran saya untuk mandi sekalian ganti pakaian. Saya kembali ke Starbucks dengan badan segar berlapis dashiki oranye dan celana kargo pendek dongker. Baju kami kembar beda warna.

Nyonya sudah memesan bagasi 20 kg. Ransel-ransel besar bisa kami masukkan ke bagasi dan kami bisa masuk kabin hanya dengan ransel lipat kecil berisi barang-barang penting. Buku-buku kami taruh di sebuah tas lipat berwarna abu-abu. Sebentar saja semua terkemas. Setelah Nyonya membayar minuman di kasir, kami pun beranjak ke konter bagasi otomatis, mengantre, memindai tiket, lalu membiarkan ransel-ransel besar kami diseret sabuk konveyor ke pesawat.

Imigrasi ramai tapi lancar-lancar saja. Tak terasa kami sudah di terminal bagian dalam. Secara ofisial kami sudah keluar dari Malaysia. Kami berjalan di antara toko-toko yang menjual segala, menyapa Master Yoda versi Lego sedang mengangkat lightsaber di sebuah toko mainan, lalu makan dan membaca buku di sebuah gerai makanan cepat saji di pojok KLIA2.

>Master Yoda di KLIA2, 1 Januari 2019/dok. Nyonya

Dekat-dekat waktu berangkat, kami berpindah ke area gerbang keberangkatan. Untuk masuk, barang-barang yang kami bawa mesti diperiksa sekali lagi di mesin sinar-X. Air minum yang dibawa dari luar mesti dikosongkan, entah dibuang ke tempat yang sudah disediakan atau diteguk di tempat. Tapi tak masalah. Botol bisa kembali diisi di keran-langsung-minum yang tersedia di beberapa titik di lorong penghubung antargerbang-keberangkatan.

Kami menanti waktu boarding di gerbang keberangkatan sesuai yang tertera di tiket. Di sekitar kami adalah sebuah keluarga dari Indonesia—bapak, ibu, dan anak laki-lakinya yang tampaknya lebih tua dari saya—yang dari kaos yang mereka pakai tampaknya baru balik melancong dari Myanmar.

Dengan perasaan kelabu karena akan mengakhiri perjalanan, saya jalan kaki menelusuri lorong gerbang keberangkatan KLIA2 itu. Lorong itu sempit saja, dengan kursi-kursi dipasang memepet dinding. Semakin ke dalam, gerbang itu semakin sepi. Ujungnya adalah ruang lapang yang dari balik jendelanya pesawat-pesawat yang entah baru datang atau hendak berangkat kelihatan.

Ada satu-dua kaveling berisi komputer dengan internet aktif yang bisa diakses secara gratis. Saya hampiri salah satunya kemudian saya buka portal-portal berita tanah air; saya mesti mengejar ketertinggalan informasi soal Indonesia. Mestilah banyak sekali yang terlewat setelah satu setengah bulan ini—apalagi saat itu situasi sedang seru sebab sebelum pemilu.

Epilog

Setelah hampir tiga jam di awang-awang, pesawat AirAsia yang kami tumpangi pun mendarat dengan selamat di landasan pacu Bandara Adisutjipto. Tak ada garbarata di bandar udara yang dulu bernama Maguwo itu. Kami mesti turun lewat tangga, melangkah satu-dua menit di tarmak, sebelum mengantre di imigrasi Terminal B.

Antrean tak terlalu panjang. Orang-orang yang berdiri di beberapa banjar berbincang dalam bahasa-bahasa yang begitu familiar di telinga saya, entah basa Jawa berdialek Mataraman atau bahasa Indonesia. Kami sudah bukan “falang” lagi. Saat akhirnya tiba di depan loket, petugas imigrasi yang berjaga mengambil dokumen saya, membubuhkan stempel, lalu mengucapkan selamat datang—selamat pulang—lewat senyuman.

Waktu mengulang cerita ini, Nyonya bilang saya sempat mutung di selasar terminal kedatangan. Saya hendak membeli rokok. Lama sudah saya tak merokok. Terakhir kali sepertinya di Hat Yai atau Penang berhari-hari yang lalu. Namun, karena langit sudah abu-abu pekat, Nyonya ingin kami bergegas ke Jalan Solo di depan untuk memesan taksi daring. Merokok pasti akan memakan waktu. Bisa-bisa langit sudah menumpahkan hujan sebelum sebatang rokok saya habiskan.

“Kalau enggak kita naik taksi bandara aja,” ujarnya.

Saya enggan. Ongkos taksi bandara tidak terlalu bersaing dengan opsi transpor lain. Sejak didisrupsi angkutan yang bisa dipesan secara daring, taksi bandara jadi pilihan kesekian.

Lalu, sambil menggerutu, saya angkat tas abu-abu berisi buku-buku itu—yang pegangannya sudah lepas di KLIA2 karena tak kuasa menahan beban yang terlalu berat—dan saya panggul di bahu kiri. Mulut saya masam mendamba tembakau. Dengan langkah besar-besar—dan sejuta cerita untuk disampaikan pada kawan-kawan—saya berjalan di depan. (Dan sempat-sempatnya Nyonya memotret saya dari belakang.) Sol sepatu gunung saya beradu dengan ubin trotoar, mengeluarkan bunyi derap khas yang rasa-rasanya akan mudah saja dibayangkan oleh setiap pejalan.

Di atas sana langit abu-abu seakan-akan tak peduli bahwa hari itu tahun baru. Gemuruh hadir sesekali. Kenangan-kenangan itu takkan pernah hilang dari memori.

>Jalan kaki meninggalkan Terminal B Bandara Adisutjipto, 1 Januari 2019/dok. Nyonya

Seorang yang menuliskan perjalanan dikaruniai privilese untuk melakukan sebuah perjalanan sebanyak tiga kali. Pertama, ketika merencanakan. Kedua, ketika turun ke lapangan. Ketiga, ketika merekoleksi perjalanan itu dan mentranskripsikannya ke dalam kata-kata.

Dalam perjalanan pertama, yang dijumpainya adalah beragam kemungkinan dan harapan. Perjalanan kedua membawanya pada kawan-kawan baru, kenyataan, dan pengalaman. Perjalanan ketiga, lewat membolak-balik halaman catatan dan folder foto atau video, menuntunnya menyusuri perjalanan itu lebih dalam.

Hari ini, pada sebuah masa ketika dunia penuh makhluk renik mematikan dan semua orang mesti mengenakan masker saat pergi ke luar ruangan, saya selesaikan perjalanan ketiga.

Lega rasanya.

Selatan, 22 Juni 2020

Semasa corona

57 pemikiran pada “Epilog: Pulang

  1. Good morning! It’s 6:21 AM in CV.

    Great post! I love, love, LOVE the last part of your story! You, Ajo, just get it. I wish more people were open in their thinking. If I were your parent I would be so proud.

    The pictures were great as they added to the story but your words painted a great picture even without them. I think it is cool how you seem to be thoughtfully reflecting on your & Madam’s adventures.

    Have a great rest of the day and be safe and well 🙂

    1. Good morning! 8.32 here in Jogja.

      Thank you very much, M. I felt quite gloomy after writing the last sentence. Perhaps I wasn’t ready to conclude the journey. But all things come to an end.

      Well, thank you very much… again.:D And the credit goes to Nyonya. After Singapore, I didn’t take photo at all.

      Stay safe and healthy! 😀

      1. Thank Nyonya for taking the photos! I think that was you, your back, right? Ha ha!!!

        Yeah, I always feel a little sad when a trip is about to end but happily look forward to reliving them through the photos and talking about it!

        Singapore, is on my bucket list for sure. I would need a year to spend the countries of Asia. Thanks for sharing the country with us 🙂

        Be well 🙂

      2. Howdy! I’ve been away from the blogosphere for a week and I’ve missed a lot. 😀

        Yes, it was me. I didn’t know she took the photo. 😀

        Counting the days before leaving a place is always painful, isn’t it, M? It makes me even sad when I realize that I will never return to the moment. 😦

        A year would be perfect. You’re gonna love it here. 😀 The honor is mine. Thanks a bunch for reading these posts. And I’m glad I wrote these posts because it led me to finding Art of the Beat. 😀

        I hope you stay well. 😀

      3. Hi there! Nah, you really have not missed musch 🙂 ha ha.

        Tell her thank you for the shot! It was ice to see more than the mysterious eye 🙂

        I know, I get so excited before a trip. We just got back a short road trip and I am downloading the shots from this morning. You always have your blog and your photos but yeah it does make me a little melancholy after a trip, wishing I was back there.

        Yeah, I just need to talk Hubby into it!

        You are a very talented story writer. Your words are just like pictures 🙂

        Have a great rest of the day. Time for a nap. Be safe and well.

      4. Waaaa sudah mencatat segitu banyaknya sepanjang perjalanan mas. Saya kadang hanya mencatat yg poin-poin aja, terus jarang di buku. Lebih serinh di gawai. Bisa dicoba ini biar gak buka-buka gawai.

  2. Finishing your adventure without problems is a great satisfaction. Nothing like getting home safe and sound after such a long journey. You have enjoyed a long adventure and travel always leaves many stories to tell. The happiest moments are etched in memory forever. I’m glad that everything went as you expected.
    A big hug and a great week for you.
    Manuel

    1. Thanks for the beautiful words, Manuel. The moments, the people, and the place will stay in my memory forever. Whenever I miss them, I’m gonna go back to these words to greet them.

      Have a great day! Big hug. 😀

  3. Saya juga dulu taunya Johor Baru, mas 😂 dan setelah beberapa kali ke sana, baru sadar namanya Johor Bahru. Seriously nggak sadar pada awalnya 🙈 hehehehe. Eniho, KLIA2 ini salah satu tempat dengan seribu rasa untuk saya (mirip-mirip Changi, Singapura). Mungkin karena saya sering transit di sana 😆 kadang ada rasa excited karena sebentar lagi akan berangkat ke negara tujuan berikutnya, namun kadang ada rasa sedih juga sebelum pulang ke Indonesia 😂 nano-nanolah pokoknyah hahahaha.

    Nevertheless, saya suka paragraf akhir mas Morishige 😄 dan saya betul-betul merasakannya, seperti sudah yalan-yalan ke tempat tersebut 3x banyaknya. Dari saat mulai susun itin, lalu berangkat, dan saat sekarang mengingat-ngingat 😍 terima kasih ya mas sudah berbagi cerita ~ saya jadi bisa lihat banyak negara dengan sudut pandang lain yang nggak biasa namun membuat hangat jiwa 🤭 ditunggu cerita-cerita yang nggak kalah seru lainnya 😁

    1. Ternyata beda ejaan dikit ya, Mbak? Hehehe. Mungkin karena kita telanjur nganggap Malaysia dan Indonesia sangat identik soal bahasa.

      Berarti sudut-sudut KLIA2 ini suatu saat bakalan Mbak Eno tuliskan di Creameno? 😀

      Makasih, Mbak Eno. 🙂 Terima kasih juga sudah ikut jalan-jalan bareng tulisan-tulisan di sini. 🙂

  4. Yaaaaaaaaaaah habiiiiiiiiiiiisss… Perasaan selalu kelabu kalau mendekati detik-detik menjelang berakhirnya sebuah perjalanan. Selalu memburu nasi pecel dan rujak cingur, serta gorengan, jika sudah menginjakkan kampung halaman. Lidah rasanya kangeeeeeeeeen banget. Aku belum pernah melakukan perjalan panjang berbulan-bulan, tapi suatu saat pengen berkelana nggak pulang minimal tiga tahunan muehehehe.

    1. Iya, Mas Alid. Kayak ada perasaan nggak rela gitu. Kemaren itu yang paling tak kangenin ayam geprek, Mas. Jadi pas balik, taruh barang, kita ke Dirty Chicks. Hahaha.

      Pulang abis tiga tahun berkelana sensasinya pasti bakal kayak pulkam habis wisuda, Mas Alid. Hahaha. 😀

  5. Perjalanan ketiga, -mengulang cerita dengan menuliskannya-, bisa jadi ga kalah sulitnya dibanding perjalanan pertama dan kedua ya. Kadang-kadang butuh niat yang kuat buat bisa merampungkan tulisan selepas melakukan satu perjalanan.

    Btw, ini total perjalanannya berapa hari ya mas? Terus total buku yang digotong pulang itu berapa biji? Banyak bener kayanya :))

    1. Iya, Mas Ikhwan. Fase paling sulit. Waktunya juga lebih lama dari perjalanan kedua. 😀

      Kalau dihitung-hitung, 43 hari, Mas. Kayaknya antara 13-14 buku deh, Mas. Hehehe. Tergoda banget soalnya di Bras Basah. Harga 2,5 dolar/buku itu rasanya kayak nyolong. 😀

      1. 43 hari!! Salut, mas Shige! 🙂
        Mumpung harganya terjangkau dan buku-bukunya menarik sih mending sikat ya, soalnya kan kita ga tau juga kapan bisa ke sana lagi buat ubek-ubek buku hehe.

  6. Mas Morishige mantap euy paragraf penutupnya. Masa pandemi dan project saya yang sebentar lagi closing menjadi wadah saya untuk melakukan perjalanan ketiga ke berbagai tempat. Sepertinya memang membuka buka foto foto lama sangat ampuh membangkitkan memori, dan mendorong kita untuk mengumpulkan serpihan serpihan cerita selama perjalanan.

    Semoga bisa menikmati perjalanan lagi bersama Nyonya

    1. Makasih, Bang Cipu. Kayaknya memang ini waktu paling pas buat perjalanan ketiga, Bang. Kalau bebas ke mana-mana, mungkin nggak bakal bisa ngerampungin yang ini. 🙂

      Bakal saya tunggu dan baca terus catatan-catatannya Bang Cipu. Dulu sempat ketinggalan banyak karena jarang ngeblog dan blogwalking ke blognya Bang Cipu. 🙂

      Amin, Bang. Semoga kita semua bisa jalan lagi. 🙂

  7. Seberapapun jauh sebuah perjalanan, kampung halaman adalah tempat pemberhentian. Kalimat ini pernah saya tulis di tembok jalanan jakarta pukul 02.00 dini hari. Membaca kisahmu, Mas? Aku jadi ingat masa-masa pahit hidup di Jakarta. Semoga, kepulangan ini akan memberangkatkan kembali ribuan cerita yang selalu saya kagumi…Salam…

  8. Penutup yang manis bung dari perjalanan keliling ASEAN…

    Ketika perjalanan bung berakhir di sisi utara Asia Tenggara, perjalanan saya dimulai menuju sisi paling timur Asia Tenggara. Tapi ada satu hal yang hampir sama, durasi waktu yang hampir sama..

    Penutup artikel indah sekali bung, dan saya setuju, dalam satu kali perjalanan, ada tiga perjalanan untuk mereka yang menulis 🙂 ..

    btw, saya malah baru tahu nama yang benar itu Johor Bahru beberapa tahun terakhir, awalnya selalu mengira Johor Baru haha..

    dan btw lagi, rasanya baru kali ini saya liat foto bung dalam perjalanan keliling Asean, walau tampak belakang 😀

    -traveler paruh waktu

    1. Makasih, Bung Bara.

      Sudah lega begini, kayaknya saya bakal baca cerita perjalanan Bung ke Timur dari awal. Saya kayaknya baru baca dari pertengahan. 🙂

      Perjalanan ketiga ini, ya, mempertemukan saya sama sosok-sosok keren kayak Bung Bara. 🙂

      Iya, Bung. Ternyata dialeknya agak beda, jadi penulisan “baru” di Malaysia beda dari kita. Kayaknya karena kita telanjur nganggap Indonesia dan Malaysia itu mirip, deh. 🙂

      Susah juga sih kemarin milih-milih foto buat postingan epilog, Bung. Terus kepikiran kayaknya sesekali muncul di gambar juga seru. 😀

      Sekali lagi, makasih udah ikut jalan-jalan, Bung. 😀

  9. Menarik sekali cara penulisannya. Biasanya, seorang travel blogger menulis sekedar bercerita, tetapi yang ini ditulis dalam gaya bahasa puitis, agak filosofis, dan banyak melankolisnya.. hahahahaha Keren bro.

    Saya tidak tahu seberapa menarik Johor Bahru, karena saya pikir kemanapun kia pergi , sesuatu akan terasa menarik karena baru dan berbeda dengan yang tempat dimana kita tinggal. Hanya saja, penulisan si bro membuatnya menjadi seakan begitu menarik.

    Thumbs up bro.. keep your good work

  10. Baru tahu kalo ternyata nama kotanya itu Johor Bahru bukan Johor Baru, sepertinya bukan saya saja ya.😂

    Pasti melelahkan keliling Asean selama beberapa bulan tapi juga menyenangkan ya bang. Dan setelah sekian lama akhirnya pulang juga mendarat di bandara Adisucipto.😄😃

  11. It may be the end of one journey, but life is an endless adventure. Thanks for sharing all your tales, I’ve really enjoyed ‘touring’ Southeast Asia through them ! 🙂

  12. Perjalanan ketiga itu tantangannya jauh lebih berat. Bukan lagi tentang mengumpulkan bekal selama perjalanan, tapi menelusuri kenangan yang harus dirangkai kata itu, lebih besar godaannya, terutama rasa amala.
    Keren deh mas petualang satu ini.

  13. “Seorang yang menuliskan perjalanan dikaruniai privilese untuk melakukan sebuah perjalanan sebanyak tiga kali. Pertama, ketika merencanakan. Kedua, ketika turun ke lapangan. Ketiga, ketika merekoleksi perjalanan itu dan mentranskripsikannya ke dalam kata-kata.”

    Aaakuuu merasa senaaaaaang setelah epilog ini!!! Thank you Bang Morish, i love your writing so much!!!

  14. Kalau kartu pos-nya nyasar ke Zihuatanejo bisa jadi tak sengaja jatuh ke tangan Red dan Andy Dufresne ya hahaha. Soal kartu pos, aku pernah kirim segepok dari 2 kota di India. Dari Delhi nyampe, dari Srinagar gak ada yang sampe. Pengalaman kirim kartu pos dari Langkawi ke ponakan untungnya sampe. Untung-untungan memang.

    Soal akhir perjalanan, ada perasaan yang memang sulit disampaikan. Satu sisi kangen sama kehidupan di rumah, sisi lain ada perasaan nggak rela 🙂 Semoga habis covid ada perjalanan lain biar aku bisa baca pengalaman seru kayak gini ya.

    1. Hehehe… Pak posnya datang waktu Andy lagi ngecat boat, Om. 😀

      Memang kadang hoki-hokian kayaknya, Om. Beberapa kali ngirim ke diri sendiri malah nggak sampai-sampai.

      Iya, Om. Ada perasaan nggak rela sudah mengakhiri perjalanan itu. Plus perasaan kangen sama kawan-kawan yang ditemui di jalan, yang nggak tahu kapan bisa dijumpai lagi. Semoga, Om. Sementara itu kita kenang-kenang saja perjalanan-perjalanan lama. 🙂

  15. Bener bener cerita penutup yang keren bgttt. Aku kok jadi mellow gimana gitu pas baca post ini. Aku abis liburan 3 hari aja udh sedih apalagi ini 1,5 bulan. Semoga kalau keadaan sudah membaik kamu bs memulai perjalanan yang lain lagi ya mas 😀

    Btw sepertinya aku jg ikut merasakan ke gloomy-an mu mas waktu lagi baca 3 paragraf terakhir. Rasanya ingin mengutipnya dibuku catatan biar gak lupa, kalau boleh 🥺🥺

    1. Makasih, Nad. Senang akhirnya bisa menuntaskannya. Kirain saya bakal bosan di tengah jalan terus minggat. 😀 Semoga semuanya segera membaik.

      Tapi. “perjalanan ketiga” ini juga bikin saya ketemu kawan-kawan narablog seperti Nadya dan Febri.

      Monggo, Nad. 😀

      1. Salut sih mas bisa nyelesein tulisannya sampai akhir, dan selalu detail disetiap tulisannya. Mungkin pembaca disini sampe kebawa perasaan kali ya makanya ikut sedih pas ceritanya selesei, soalnya berasa ikut dalam perjalanannya juga.

        Makasih mas. Sudah langsung ku copy dinotes hape untuk kemudian ku catat langsung. 😁

  16. Waaah sayang banget kartuposnya ga sampai ya mas :).

    Johor bahru aku cuma pernah sekali, itupun ngelewatin doang , pas dari Singapura mau ke Penang :D. Zaman masih kuliah, ga prnh kepikiran singgah ke Johor Krn temen kuliah juga ga ada yg asal sana. Dan lumayan jauh sih mikirnya :D.

    Krn skr ada Legoland aja jd kepikiran pgn ksana bareng anak2 setelah wabah ini menghilang. Ntah kapan -_- ..

    Bener juga ya mas, kita itu ngerasain 3x perjalanan sbnrnya. Dan dipikir2 banyak perjalananku yg berhenti cm sampe di point’ ke2 :D. Mungkin ini waktunya mengolah foto2 lama sambil nunggu wabah berlalu

    1. Wah, ada Legoland di Johor Bahru, Mbak Fanny? Kayaknya seru juga itu ke sana. 😀 Iya, Mbak. Ini kayaknya waktu yang tepat buat menggali ingatan dan menuliskan semua yang tercecer. Kalau mobilitas nanti sudah jadi tinggi lagi, mungkin agak susah nyuri-nyuri waktu buat menulis. 😀

  17. Hi Shige,

    Perjalanan kamu kereeeen! Hahaha.
    Bikin kangen traveling.

    Bersyukur traveling selesai sebelum ada wabah.
    Semoga segera selesai wabahnya dan traveling lagi.

    Coba tu ya Bandara Adi Sucipto ngebolehin Grab atau Gocar.
    Sedih tiap kali ditembak harga taksi atau mobil sewa yang mahalnya ngga ketulungan.

  18. Hi Wulan! Salam kenal!

    Iya, semoga segera selesai wabah ini. Entah kapan. 😀

    Nah, biasanya orang-orang pada nunggu Grab/Gojek di depan, di Jalan Solo. Eman-eman banget sih kalau mesti bayar lebih sementara pilihan yang lebih murah tersedia. 😀

Tinggalkan Balasan ke morishige Batalkan balasan